Monday 1 May 2017

Alasan Penghapusan RSBI

                       Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjadi dasar pembentukan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). UU Sisdiknas 2003 tersebut memperkenalkan klasifikasi sekolah baru, yakni Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri, dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Sekolah yang ingin menjadi SBI, terlebih dahulu harus menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Keberadaan RSBI dan SBI itulah yang akhirnya dihapuskan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dalam Putusan MK yang menyatakan keberadaan RSBI maupun SBI tidak sah dan melanggar Konstitusi, Hakim MK menyatakan bahwa Mahkamah tidak mengesampingkan pentingnya Bahasa Inggris, tetapi istilah internasional sangat berpotensi mengikis kebudayaan bangsa Indonesia dan Bahasa Indonesia. MK juga menilai output pendidikan yang dihasilkan RSBI dan SBI adalah siswa berprestasi, namun tidak harus berlabel berstandar internasional.
Selain terkait dengan masalah pembangunan jatidiri bangsa, RSBI membuka peluang perbedaan perlakuan antara sekolah RSBI dengan sekolah non RSBI. Pemerintah memang harus memberikan ruang perhatian khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan khusus, namun pemberian pelayanan berbeda tidak dapat dilakukan dalam bentuk sekolah RSBI dan non RSBI, karena hal itu menunjukkan ada perlakuan berbeda dari pemerintah. Baik fasilitas, pembiayaan, sarana prasarana, RSBI mendapat fasilitas lebih. Implikasi perbedaan demikian mengakibatkan RSBI saja yang menikmati fasilitas memadai. Padahal sekolah non RSBI pada kenyataannya fasilitasnya masih sangat terbatas. Adanya fakta lain, bahwa siswa di sekolah RSBI harus membayar biaya lebih banyak dibanding dengan non RSBI. Hanya masyarakat mampu yang bisa sekolah di RSBI, meskipun ada beasiswa untuk siswa kurang mampu, tetapi hal itu sangat kecil dan hanya ditujukan bagi anak-anak sangat cerdas. Sedangkan anak tidak mampu secara ekonomi dan kurang cerdas, tidak mungkin bisa sekolah di RSBI.
Pemicu kesenjangan ini yaitu semula tujuan pembentukan RSBI sangatlah mulia. Sistem ini digagas untuk lebih mencerdaskan generasi muda anak bangsa, lebih mempersiapkan pelajar-pelajar berkualitas di masa yang akan datang demi mengarungi persaingan global. Inti pembentukan RSBI adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural. Guru dalam RSBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran deep-learninghigher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa, dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajaran rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah umum. Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, wawasan yang luas dan berani menghadapi risiko.
Namun dalam perjalanannya, RSBI sudah jauh keluar dari koridor dan sudah sangat jauh dari harapan yang dicita-citakan bersama. RSBI yang seharusnya menjadi arena pencerdasan anak-anak bangsa, menjadi tempat pelatihan anak-anak bangsa agar menjadi lebih baik, justru menjadi lahan diskriminasi, komersialisasi, dan bahkan menjadi tempat untuk mendidik anak-anak bangsa yang liberal dan berorientasi pasar kapitalis. RSBI telah digunakan sebagai label untuk menjadi suatu komoditas jual beli pendidikan. Fasilitas pendidikan yang berkualitas dijadikan produk utama dengan harga tinggi yang hanya bisa dijangkau orang-orang dari kelas menengah ke atas. melalui RSBI, sekolah-sekolah negeri yang seharusnya pembimbing yang baik, telah beralih profesi menjadi pedagang ilmu pengetahuan. Mereka dengan mudah mempresentasikan apa saja yang menjadi kebutuhan sekolah untuk menjadi pungutan dari orang tua siswa, mulai dari uang muka yang puluhan juta rupiah, sumbangan untuk membeli AC, membayar internet, kelengkapan ekstrakurikuler, bahklan pungutan yang alasannya untuk mempercantik toilet yang berada di sekolah.
Sekolah RSBI yang ditarget berkembang menjadi SBI justru menjadi sekolah atau institusi pendidikan yang mendiskriminasi aksesibilitas publik atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Ironisnya, label bertaraf internasional dijadikan tameng praktik pungutan anggaran yang membubung tinggi. Pendidikan di RSBI menjadi komoditas yang standar harganya ditakar atas standar pelayanan fisik yang diberikan serta ditentukan sejauh mana sekolah bisa menghargai dirinya dengan berbagai variasi pelayanan kegiatan belajar-mengajar yang mewah.
Awal pembubaran RSBI ini yaitu pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan akan mematuhi putusan MK tersebut. Namun pernyataan tersebut tidak menjamin RSBI akan tetap eksis dengan berganti label dan topeng karena sekolah-sekolah RSBI merupakan produk unggulan birokrasi pendidikan yang memiliki kepentingan terhadap anggaran. Harus diakui mandat UU No.20 Tahun 2003 bahwa batas minimal anggaran APBN untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen membuat bingung perencana kebijakan pengelolaan anggaran. Ada indikasi bahwa anggaran puluhan bahkan ratusan triliun sangat sulit dibelanjakan karena mindset pengambil kebijakan pendidikan yang terbiasa dengan kultur penghabisan biaya anggaran sehingga anggaran yang besar tidak sebanding dengan desain inovasi dan kreasi perencanaan pendidikan. Akibatnya, sekolah RSBI dan proyek-proyek peningkatan mutu guru menjadi objek belanja pengeluaran anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Memang konsep RSBI merupakan salah satu bentuk terobosan Kemendikbud untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, dan layak diberikan apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, tapi kemudian tidak mengawasi pelaksanaannya terutama aspek pendanaannya yang dibebankan kepada masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja memberatkan masyakarat dengan mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi persaingan lantaran ketiadaan dana.

1 comment:

  1. TINNATHIAN GALLERY HANDEL - Titanium Hip Art
    TINNATHIAN GALLERY HANDEL. 2019 ford fusion hybrid titanium $8.50. mokume gane titanium TINNATHIAN mens wedding bands titanium GALLERY HANDEL. (904) 534-7279. The Shoppes at TINNATHIAN GALLERY titanium auto sales HANDEL, New Mexico. titanium easy flux 125

    ReplyDelete