Monday 29 June 2015

Hukum Acara Perdata

HUKUM ACARA PERDATA


Pengertian Pokok Hukum Acara

Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.



Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).



HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 no 44



Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.



Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)



Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)



Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.



Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.



Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).



Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)



Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.



Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :

1. Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.

2. Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan

3. Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.

4. Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum

5. Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.



Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :

1. Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.

2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer

3. Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.



Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)


ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA



1. Hakim bersifat menunggu

Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.



2. Hakim dilarang menolak perkara

Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.

Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)



3. Hakim bersifat aktif

Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.



4. Persidangan yang terbuka

Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)



5. Kedua belah pihak harus didengar

Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.



6. Putusan harus disertai alasan

Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa



7. Sederhana, cepat dan biaya ringan

Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.





Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)

Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.



8. Obyektivitas

Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.



9. Hak menguji tidak dikenal

Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.



PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA



1. Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)



2. Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.

3. Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.

4. Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.




Pemekaran Wilayah



Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerahprovinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masingmempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomuntuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentinganmasyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketersediaan peluang regulasi bagi pemekaran daerah otonom, ataupembentukan daerah otonom baru, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalamsejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Sejak sistem pemerintahan sentralistispada masa Orde Baru, pemerintah juga telah banyak melakukan pembentukandaerah otonom baru. Kecamatan-kecamatan yang semakin kuat karakter urban-nyakemudian dijadikan Kota Administratif, sebuah unit pemerintahan wilayahdekonsentratif (field administration). Selanjutnya bila karakter tersebut telahsemakin menguat, daerah tersebut dijadikan Kota Madya yang setingkat denganPemerintahan Kabupaten. Di luar itu juga dimungkinkan pembentukan pemerintahkabupaten ataupun provinsi baru.

Namun, selama periode Orde Baru tahun 1966 - 1998, tidak terdapatpenambahan daerah otonom baru yang signifikan. Ledakan penambahan daerahotonomi baru, atau yang biasa disebut pemekaran daerah, baru terjadi pasca 1999.Ditengah keinginan berbagai pihak untuk merasionalisasi pemekaran daerah, prosespemekaran daerah terus berlangsung hampir setiap tahun pada periode 1998 – 2008.

Usulan untuk membentuk daerah baru ini masih terus terjadi sampai sekarang,bahkan sebagian diantaranya sedang dibahas oleh DPR.
Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi peluang olehpemerintahan Orde Baru dan pasca Orde Baru. Perbedaannya terletak pada prosespengusulan pemekaran. Di masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai peranyang besar untuk menyiapkan pembentukan daerah otonom (dari ibukotaKecamatan, menjadi Kota Administratif lalu Kotamadya) dan menginisiasipembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada menekankan padausulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah otonombaru. Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulanpemekaran dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk.Selain itu, bukan hanya pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabunganbeberapa daerah menjadi satu daerah otonompun diberi peluang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah (selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada dasarnyabertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnyakesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satudaerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yangbersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Pemekaran daerah adalahpemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernahmempunyai pengalaman penggabungan daerah.
Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungandaerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 digantiPeraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (selanjutnya ditulis PP 78/07). Dalam PP78/07 mengatur mengenai proses pembentukan daerah yang didasari pada 3 (tiga)persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
1.       Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat.
2.       Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensidaerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomidaerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuankeuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendalipenyelenggaraan pemerintahan.
3.       Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupanwilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentukdapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalamrangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepatterwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan NegaraKesatuan Republik Indonesia. Dalam pembentukan daerah, tidak bolehmengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonom daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud dengan dilengkapidengan kajian daerah.Kajian daerah ini merupakan hasil kajian Tim yang dibentuk oleh kepaladaerah yang bersangkutan untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonombaru secara obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktorteknis.