Friday 27 February 2015

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)



Upaya yang dapat dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan adalah dengan melakukan upaya yang disebut PKPU. Upaya tersebut hanya dapat diajukan oleh debitur sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersamaan. Dalam PKPU debitur masih dapat melakukan pengurusan dan kepemilikan atas harta kekayaannya asalkan hal tersebut disetujui oleh pengurus sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) UUK-PKPU. Syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU, menurut Pasal 222 ayat (3) apabila kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Berdasarkan isi Pasal 222 ayat (2) dan (3) terdapat perbedaan mengenai syarat dapat diajukannya PKPU oleh debitur dan oleh kreditur. Bagi debitur untuk dapat mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, tetapi juga apabila debitur memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika nantinya utang-utang itu jatuh waktu dan dapat ditagih. Sementara bagi kreditur menurut Pasal 222 ayat (3) hanya dapat mengajukan permohonan PKPU apabila secara nyata debitur tidak lagi membayar piutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Syarat bagi debitur untuk dapat mengajukan PKPU ditentukan baik dalam Pasal 222 ayat (1) maupun dalam ayat (2). Sementara itu Pasal 222 ayat (3) mengatur mengenai syarat bagi kreditur untuk dapat mengajukan PKPU.

PKPU Sementara
Sebelum pengadilan niaga memutuskan untuk mengadakan PKPU tetap, baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara sesuai dengan Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK-PKPU. Merupakan kepentingan semua pihak agar pengadilan niaga secepatnya memberikan PKPU sementara agar segera terjadi keadaan diam (stay atau standstill) sehingga kesepakatan yang dicapai antara debitur dan para krediturnya tentang rencana perdamaian betul-betul efektif. Adapun batas waktu bagi pengadilan niaga untuk mengabulkan PKPU Sementara yaitu tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan tersebut. Dengan ketentuan Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK-PKPU itu, berarti sepanjang debitur telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 222 dan Pasal 224, pengadilan dengan sendirinya harus memberikan PKPU Sementara sebelum akhirnya pengadilan memberikan keputusan mengenai PKPU tetap, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana mestinya.
Putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang (PKPU Sementara) yang dimaksud, menurut Pasal 227 UUK-PKPU berlaku sejak tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) diselenggarakan. Dari ketentuan Pasal 230 UUK-PKPU dapat disimpulkan bahwa jangka waktu PKPU Sementara berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1.   Kreditur tidak menyetujui pemberian PKPU tetap, atau
2. Pada saat batas waktu perpanjangan PKPU telah sampai, ternyata antara debitur dan kreditur belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.



Persetujuan Permohonan PKPU Tetap

                Apabila PKPU tetap disetujui oleh para kreditur, maka penundaan yang diputuskan pengadilan niaga tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan. Menurut penjelasan Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU, yang berhak untuk menentukan apakah kepada debitur akan diberikan PKPU tetap adalah kreditur konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditur konkuren. Berdasarkan Pasal 229 ayat (2) UUK-PKPU menentukan apabila timbul perselisihan antara pengurus dan para kreditur konkuren tentang hak suara kreditur, maka penyelesaian atas perselisihan itu harus diputus oleh hakim pengawas. Sejalan dengan ini, Pasal 229 ayat (1) UUK-PKPU menegaskan bahwa pada hakikatnya PKPU tetap diberikan oleh para kreditur dan bukan oleh pengadilan niaga. Dengan kata lain, PKPU tetap diberikan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan para krediturnya mengenai rencana perdamaian yang diajukan oleh kreditur. Pengadilan niaga hanya memberikan putusan pengesahan atau konfirmasi saja atas kesepakatan antara debitur dan para kreditur konkuren tersebut. Menurut tujuan Pasal 229 tersebut, tidak dibenarkan bagi pengadilan niaga untuk mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan kehendak atau kesepakatan debitur dan para krediturnya.

Kepailitan



Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Adapun pengertian dari Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU yang berbunyi, “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Kemudian terdapat pula Sejarah dan perkembangan kepailitan yang masuk di Indonesia , masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.

Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).

Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.

Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.