Friday 31 October 2014

Perbandingan UU No. 4 1982 dengan UU No. 23 1997


Perbandingan UU No. 4 1982 dengan UU No. 23 1997
a)      Jumlah Pasal
Jika melihat dari jumlah pasal, UU No. 23 tahun 1997 memiliki lebih banyak pasal yaitu 52 pasal, sedangkan UU No.  4 1982 hanya memiliki 24 pasal.
UU No. 4 Tahun 1982 terdiri atas 9 Bab, yaitu:
1)      Ketentuan Umum
2)      Asas dan Tujuan
3)      Hak, Kewajiban dan Wewenang
4)      Perlindungan Lingkungan Hidup
5)      Kelembagaan
6)      Ganti Kerugian dan Biaya Pemulihan
7)      Ketentuan Pidana
8)      Ketentuan Peralihan
9)      Penutup
UU No. 23 Tahun 1997 terdiri atas 11 Bab, yaitu:
1)      Ketentuan Umum
2)      Asas, Tujuan dan Sasaran
3)      Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat
4)      Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup
5)      Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
6)      Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup
7)      Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
8)      Penyidikan
9)      Ketentuan Pidana
10)  Ketentuan Peralihan
11)  Ketentuan Penutup

b)      Asas
Asas dalam UU No. 4 Tahun 1982:
            Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

            Asas dalam UU No. 23 Tahun 1997:
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

c)      Peraturan

Peraturan dalam UU No. 4 Tahun 1982 diatur dalam pasal 5 – 10 Bab 3 tentang Hak, Kewajiban, dan Wewenang, yang berbunyi:

Pasal 5

1)      Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2)      Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya.
Pasal 6
1)      Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
2)      Peran serta sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
1)      Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan
2)      Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang
3)      Ketentuan tentang kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 8
1)      Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan
2)      Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 9
Pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup.
Pasal 10
1)      Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2)      Sumber daya buatan yang menyangkut hidup orang banyak diatur penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3)      Hak menguasai dan mengatur oleh negara sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini memberikan wewenang untuk:

3.a) Mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali, daur ulang, penyediaan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini.

3.b) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya terhadap sumber daya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini;

3.c) Mengatur pajak dan retribusi lingkungan.

4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Peraturan dalam UU No. 23 Tahun 1997 diatur pada pasal 8 Bab 5 tentang Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang ayatnya terdiri dari:

1)      Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.
2)      Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
2.a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
2.b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
2.c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber buatan, termasuk sumber daya genetika;
2.d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
2.e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

PERJANJIAN PERDAMAIAN

PERJANJIAN PERDAMAIAN
A.    PENGERTIAN
            Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perata. Perdamaian adalah suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 KUH Perdata). Definisi lain dari perdamaian adalah:
“ Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu sengketa.” (Art.1888 NBW)
Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut perjanjian “formal” dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat menurut suatu formalitas tertentu.
            Oleh arena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara. Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya.
            Begitu juga tidak ada perdamaian jika kedua belah pihak menyerahkan penyelesaian perkara pada arbitrase (pemisah) atau tunduk pada nasihat dari pihak ke-3 (binded advies)

B.     UNSUR DAN SYARAT PERDAMAIAN
            Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam KUH Perdata pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut 4 unsur, yaitu :
1.      Adanya persetujuan kedua belah pihak.
            Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama “ menyetujui” dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam pasal1320 KUH Perdata :
a.       Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming)
b.      Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid)
c.       Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp)
d.      Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah)
     Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap unsur, seperti :
a.       Kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
b.      Paksaan (dwang)
c.       Penipuan (bedrog)
            Sedangkan dalam pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat dibatalkan jika terjadi kekhilafan:
a.       Mengenai orangnya
b.      Mengenai pokok yang diperselisihkan.
            Kemudian dalam pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalahpahaman perdamaian, seperti :
a.       Kesalahpahaman tentang duduknya perkara
b.      Kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.

2.      Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa.
            Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan.
3.      Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang dalam bentuk tertulis.
            Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus bersifat tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan perjanjian perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat  bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian, yakni :
a.       Putusan perdamaian
b.      Akta perdamaian.
4.      Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara (sengketa).
            Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa, karena menurut pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu:
a.       Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan.
b.      Sudah nyata wujud dari persengketaan perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.

C.     SUBJEK DAN OBJEK PERDAMAIAN.
1.      Orang yang berwenang mengadakan perdamaian.
                             Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perdamaian, namun dalam pasal 1852 KUH Perdata telah ditentukan orang yang berwenang untuk melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk melakukannya adalah:
a.       Para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam buku kesatu KUH Perdata.
b.      Kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga hukum.

2.      Objek perdamaian.
            Objek perjanjian perdamaian diatur dalam pasal 1853 KUH Perdata. Objek perjanjian perdamaian adalah:
a.       Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan.
b.      Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya, sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.

D.    AKIBAT HUKUM
1        Mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
            Jika perdamaian telah diputuskan, maka putusan itu disamakan seperti putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sebagaimana tercantum dalam pasal 1858 ayat 1 dan pasal 130 ayat 2 KUH Perdata.
2        Tertutup upaya banding dan kasasi.
            Akibat hukum yang kedua adalah tertutupnya upaya hukum, baik banding ataupun kasasi. Suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap  tidak bisa tidak dapat banding atau kasasi. Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 130 ayat 2 HIR bahwa perdamaian (putusan perdamaian) tidak diizinkan banding tidak diizinkan banding, yang artinya sejak awal keputusan perdamaian tidak diperoleh mengajukan permintaan banding. Sebab saat putusan perdamaian terwujud, sudah melekat pada putusan perdamaian nilai kekuatan hukum seperti putusan yang sudah mendapat kekuatan hukum tetap.
3        Mempunyai kekuatan eksekusi.
            Adapun akibat hukum yang ketiga adalah kekuatan hukum yang mengikat dan mempunyai kekuatan mengeksekusi. Sehingga jika para pihak ingin membatalkan perdamaian secara sepihak, maka kedua belah pihak harus menaati dan melaksanakan sepenuhnya isi yang tercantum dalam putusan perdamaian. Dengan demikian terhadap putusan perdamaian berlaku ketentuan pasal 1339 dan pasal 1348 KUH Perdata.
            Para pihak harus menaati dan memenuhi isi putusan perdamaian tidak hanya menurut bunyi rumusnya, tetapi juga dari segi tujuan, segi sifat perdamaian itu sendiri dan juga menurut kepatutan serta kebiasaan. Sehingga pentaatan putusan perdamaian harus sesuai dengan yang diputuskan MA tanggal 9 November 1976 No. 1245 k/SIP/1974 yang berbunyi: “pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian
            Dalam hal ini tidak saja kekuatan hukum mengikat yang melekat pada peraturan perdamaian, akan tetapi melekat juga di dalamnya kekuatan hukum eksekutorial, hal ini berarti jika salah satu pihak enggan isi persetujuan perdamaian  “secara suka rela” maka pihak yang lain dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri, agar pihak yang ingkar tadi dapat dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian. Dan jika perlu dapat meminta bantuan kekuasaan hukum (kepolisian
            Jelasnya semua ketentuan eksekusi terhadap putusan peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian. Apabila keputusan perdamaian itu mengandung eksekusi riil yang diatur dalam pasal 200 ayat 11 HIR atau pasal 1033 RV, berlaku sepenuhnya dalam kasus eksekusi putusan perdamaian. Selanjutnya jika dalam putusan perdamaian berupa eksekusi pembayaran uang, berlaku sepenuhnya eksekusi yang diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 200 HIR. Dan apabila eksekusinya mengandung pelaksanaan suatu perbuatan (untuk melaksanakan sesuatu) berlaku sepenuhnya ketentuan eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR.
            Dengan demikian penataan dan pemenuhan putusan perdamaian sama halnya dengan penataan dan pemenuhan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum, yakni:
1)      Penataan dan pemenuhannya dapat dilakukan secara suka rela.
2)      Penataan dan pemenuhannya dapat dipaksakan melalui eksekusi, jika salah satu pihak enggan menaati dan memenuhinya secara suka rela.
Jadi pada prinsipnya putusan perdamaian memperpendek dan mempersingkat proses penyelesaian perselisihan di antara pihak yang berselisih.

E. PERSEPEKTIF HUKUM DALAM PERJANJIAN PERDAMAIAN.
            Berkenaan dengan perjanjian perdamaian ini, maka bisa dikatakan bahwasanya bentuk perjanjian masih berlaku sampai sekarang, dikarenakan tujuan dari perjanjian ini adalah mencegah terjadinya sengketa dan masih terus bisa dilangsungkan ke dalam bentuk hukum acara perdata. Perjanjian perdamaian juga berhubungan erat dengan arbitrase (perwasitan).
            Tujuan perjanjian perdamaian adalah untuk menghentikan suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan. Perjanjian perdamaian dikatakan sah apabila perjanjian tersebut dilakukan di pengadilan dan tidak sah bila dilakukan selain di pengadilan.





Salim, HUKUM KONTRAK: Teori dan Teknik Penyusunan.2008, cetakan ke-8, Jakarta: SINAR GRAGIKA. Hal. 92

R. Subekti, ANEKA PERJANJIAN. 1995, Bandung : PT. CITRA ADITYA BAKTI. Hal. 177

 Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata. 1993. Jakarta: Rineka Cipta Hal. 3