Monday 31 October 2016

Contoh Analisis Kasus Peradilan Konstitusi



Keputusan MK kontroversi Loloskan Calon Tunggal di Pilkada
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, daerah yang punya pasangan calon tunggal tetap bisa melaksanakan Pilkada. Nantinya, mereka dipilih dengan cara referendum atau sistem setuju atau ditak setuju.
Putusan itu lantas dianggap kontroversial oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria. Sistem referendum itu dianggapnya berpotensi memborosi uang negara jika ternyata hasilnya adalah tidak setuju.
“Masyarakatkan menyatakan setuju dan tidak setuju, kalau tidak setuju pemilu tetap 2017. Itu artinya pemborosan. Ini membingungkan masyarakat, karena norma baru. Masyarakyat tidak terbiasa referendum. Nanti lama-lama masyarakyat bisa-bisa sedikit-sedikit minta referendum” ungkapnya kepada wartawan, Rabu (30/9/2015)
Padahal, sebutnya, semangat Pilkada yang diusung selama ini adalah efektik dan efisien.
Hal lainnya, kata Riza, MK berpotensi membuka ruang adanya “permainan” monopoli calon dari partai politik berkepentingan.
“Kalau hasil MK begini memungkinkan satu pasangan calon. Itu tidak bijak. Bisa saja borongan partai ini, terus enggak ada lawan. Tetapin saja.” ketusnya
Diketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada atau UU Pilkada. Putusan itu membuat Pilkada bisa diselenggarakan meski hanya dengan calon tunggal.


Analisis:

-          MK mengabulkan sebagian gugatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada atau UU Pilkada
-          Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, daerah yang punya pasangan calon tunggal tetap bisa melaksanakan Pilkada. Nantinya, mereka dipilih dengan cara referendum atau sistem setuju atau ditak setuju
-          Putusan itu lantas dianggap kontroversial oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria
Dalam kasus diatas, ada beberapa point putusan MK yang dianggap kontroversial oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria, yaitu:

1)      Membingungkan masyarakat
2)      Ditakutkan masyarakyat akan sedikit-sedikit meminta referendum
3)      Berpotensi membuka ruang adanya permainan monopoli

Dalam 3 hal diatas, poin nomor 3 adalah hal yang benar adanya. Dengan MK mengabulkan sebagian gugatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada atau UU Pilkada, membuat Pilkada bisa diselenggarakan meski hanya dengan calon tunggal. Hal tersebut tentunya bisa membuat keuntungan untuk beberapa golongan tertentu, seperti partai partai politik yang berkepentingan dan bermain nakal nantinya. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria, hal tersebut berpotensi membuka ruang terjadinya permainan “Monopoli” calon dari partai-partai golongan tertentu. Putusan MK tersebut memungkinkan hanya ada satu pasangan calon yang pada akhirnya menyebabkan pasangan tersebut tidak mempunyai lawan sama sekali. Hal seperti itu dianggap tidak bijak oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria.



Disisi lain, hal-hal diatas juga dianggap berpotensi menimbulkan tanda tanya pada masyarakyat karena norma baru, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria menganggap masyarakyat tidak terbiasa dengan referendum dan mengganggap kedepannya masyarakyat akan selalu meminta referendum.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria juga mempermasalahkan tentang pemborosan uang negara tentang hasil putusan MK ini, dia menanggap jika hasilnya nanti adalah tidak setuju, maka akan terjadi pemborosan terhadap keuangan negara.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria menyatakan, Pilkada yang diusung selama ini adalah efektik dan efisien.

Contoh Antropologi Hukum



Dalam hukum adat Bugis, Makassar, terdapat yang namanya Proses Abbajik (Berbaikan), yang Apabila terjadi perkawinan lari (Silariang, Nilariang, Erangkale), maka oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut tu-masiri’, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki (tu-mannyala) itu akan dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga.
Karena perbuatan tu-mannyala (makassar : orang yang bersalah) biasanya jika diketahui dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama dari keluarga sigadis. Sebab tu-mannyala harus dibunuh kecuali bila tu-mannyala tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota dewan hadat / pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah sempat melemparkan penutup kepalanya (songkok atau destar) ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia sudah berada dalam perlindungan, maka tak dapat diganggu lagi. Begitu juga kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya. Bila tu-mannyala tadi telah berada di rumah satu pemuka masyarakat (dalam hal ini imam atau kadhi) maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-mannyala.
Langkah pertama, orang tua sigadis (tu-masirik) dihubungi dan dimintai persetujuannya agar anaknya dapat dinikahkan. Biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi bertindak sebagai wali, karena merasa hubungannya dengan anaknya mimateami (telah dianggap mati). Sebab itu, tak ada jalan lain bagi imam atau kadhi kecuali menikahkan tu-mannyala dengan ia sendiri bertindak sebagai wali hakim. Setelah itu, baru dipikirkan yang harus dilakukan tu-mannyala agar diterima kembali sebagai keluarga yang sah dalam pandangan adat. Hubungan antara tu-masiri’ dengan tu-annyala sebagai tu-appakasirik akan diterima selama tu-mannyala belum abbajik (damai). Bila tu-mannyala mampu dan berkesempatan appakabajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada penghulu adat/pemuka masyarakat tempatnya meminta perlindungan dahulu. Lalu diutuslah seseorang untuk menyampaikan maksud appala bajik (meminta damai) kepada keluarga tu-masirik atau kepada penghulu kampung tempat keluarga tu-masirik yang selanjutnya menghubungi keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumate tallasa’na (orang mati yang masih hidup).
Keluarga tu-masirik lalu menyampaikan kepada sanak keluarganya tentang maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali tu-mannyala tersebut, maka disampaikanlah kepada yang mengurus selanjutnya pada pihak tu-mannyala. Kemudian si tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan persiapan yang diperlukan dalam upacara appala bajik tersebut. Keluarga tu-mannyala menyediakan sunrang (mahar) sesuai aturan sunrang dalam perkawinan adat, selain menyediakan pula pappasala (denda karena berbuat salah). Pappasala dengan sunrang dimasukkan dalam ‘kampu’ disertai ‘leko’ sikampu’ (sirih pinang dalam kampu). Keluarga tu-mannyala juga yang wajib menyiapkan dalam pertemuan itu antara lain hidangan adat.
Pada waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala (orang yang telah berbuat salah/aib) datang dengan keluarga yang mengiringinya ke rumah salah seorang tu-masirik (orang yang menderita malu atau yang dipermalukan). Sementara itu keluarga tu-masirik telah pula hadir. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak to-mannyala/tu-mappakasirik yang diterima oleh tu-masirik maka berakhirlah dendam dan ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi meminta maaf kepada keluarga tu-masirik yang hadir dan pada saat itu dirinya resmi diterima sebagai keluarga yang sah menurut adat.
Dalam hal diatas, dikatakan bahwa apabila terjadi perkawinan lari, maka oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki itu akan dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga. Hal tersebut jelas bertentangan dengan hukum positif yang terdapat di Indonesia. Tertulis jelas dalam KUHP, tentang kejahatan terhadap nyawa yang diatur mulai dari pasal 338 sampai dengan 367. Hal diatas dapat melanggar pasal 338 yang berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Bahkan, dapat dikaitkan juga dengan pembunuhan berencana, karena pembunuhan yang dilakukan sudah dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, bunyi dari pasal 340 KUHP yaitu:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Dengan begitu, Proses Abbajik (Berbaikan) yang terdapat dalam budaya Bugis, Makassar dapat dikatakan bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena sudah jelas-jelas tidak diperbolehkannya merampas nyawa orang lain dalam hal apapun dan sudah tertulis jelas dalam KUHP dalam bab Kejahatan Terhadap Nyawa.