Saturday 31 December 2016

Pengertian Tentang Pelanggaran Hak Cipta


Hak cipta adalah hak eksekusi yang diberikan oleh pemerintah) untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya “hak cipta merupakan hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak Cipta dapat juga memungkinakn pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas

Hak cipta berlaku pada berbgai jenis karya seni atau karya ciptaan ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta kaya tulis lainnya, film karya koreografis (tari, balet) dan sebagainya) komposisi musik, rekaman suara lukisan, gambar, patung, foto perangkat lunak computer, siaran radio dan televise dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual. Namun hak cipta membedakan secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten yang memberikan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya. Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya atau teknik yang mungkin terwujud dan terwakili di dalam ciptaan tersebut. 

Di Indonesia masalah hak cipta diatur dalam undang-undang hak cipta, yaitu yang berlaku saat ini, undang-undang nomor 19 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut pengertian hak cipta adalah “hak ekslusif bagi penciptanya atau penerima ha kuntuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan ujin untuk itu dengan tidak mengurangi batasan-batasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 butir 1)

Contoh budaya pada suatu daerah yang bertentangan dengan hukum positif



Pertama, apa yang dimaksud dengan hukum positif? Ius Constitutum (Hukum Positif) adalah Peraturan hukum yang berlaku pada saat ini/ sekarang untuk masyarakat dari dalam suatu daerah tertentu. Ius Constitutum  merupakan hukum yang berlaku untuk suatu masyarakat dalam suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Contohnya adalah Perda (Peraturan Daerah).
Objek yang diatur di dalam hukum positif/Ius Constitutum adalah sekaligus subjek/pelaku. Ini berakibat penting untuk metode keilmuannya serta kualitas hukum/ penjelasan mengenai sebab akibat hukum. Yang menjadi objek ilmu hukum positif berbeda dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam. Hukum positif sebagai sebuah perangkat kaidah untuk manusia masyarakat, ia diatur oleh metode keilmuan Humanities/ Humaniora, bukan diatur oleh metode keilmuan ilmu pasti-alam.
Hukum postif hukum yang mengatur perilaku manusia yang merupakan bukan benda mati tetapi makhluk hidup yang memiliki pikiran serta kemampuan membedakan hal yang baik dan hal yang buruk (Etika).
Hukum positif/Ius Constitutum jika di kaitkan dengan etika maka juga berhubungan dengan moral. Maksudnya bahwa hukum positif juga memiliki hubungan yang erat dengan moral dan norma yang ada dalam masyarakat
Dalam hukum adat Bugis, Makassar, terdapat yang namanya Proses Abbajik (Berbaikan), yang Apabila terjadi perkawinan lari (Silariang, Nilariang, Erangkale), maka oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut tu-masiri’, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki (tu-mannyala) itu akan dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga.
Karena perbuatan tu-mannyala (makassar : orang yang bersalah) biasanya jika diketahui dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama dari keluarga sigadis. Sebab tu-mannyala harus dibunuh kecuali bila tu-mannyala tadi telah berada dalam rumah atau pekarangan anggota dewan hadat / pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah sempat melemparkan penutup kepalanya (songkok atau destar) ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia sudah berada dalam perlindungan, maka tak dapat diganggu lagi. Begitu juga kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya. Bila tu-mannyala tadi telah berada di rumah satu pemuka masyarakat (dalam hal ini imam atau kadhi) maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-mannyala.
Langkah pertama, orang tua sigadis (tu-masirik) dihubungi dan dimintai persetujuannya agar anaknya dapat dinikahkan. Biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi bertindak sebagai wali, karena merasa hubungannya dengan anaknya mimateami (telah dianggap mati). Sebab itu, tak ada jalan lain bagi imam atau kadhi kecuali menikahkan tu-mannyala dengan ia sendiri bertindak sebagai wali hakim. Setelah itu, baru dipikirkan yang harus dilakukan tu-mannyala agar diterima kembali sebagai keluarga yang sah dalam pandangan adat. Hubungan antara tu-masiri’ dengan tu-annyala sebagai tu-appakasirik akan diterima selama tu-mannyala belum abbajik (damai). Bila tu-mannyala mampu dan berkesempatan appakabajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada penghulu adat/pemuka masyarakat tempatnya meminta perlindungan dahulu. Lalu diutuslah seseorang untuk menyampaikan maksud appala bajik (meminta damai) kepada keluarga tu-masirik atau kepada penghulu kampung tempat keluarga tu-masirik yang selanjutnya menghubungi keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumate tallasa’na (orang mati yang masih hidup).
Keluarga tu-masirik lalu menyampaikan kepada sanak keluarganya tentang maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali tu-mannyala tersebut, maka disampaikanlah kepada yang mengurus selanjutnya pada pihak tu-mannyala. Kemudian si tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan persiapan yang diperlukan dalam upacara appala bajik tersebut. Keluarga tu-mannyala menyediakan sunrang (mahar) sesuai aturan sunrang dalam perkawinan adat, selain menyediakan pula pappasala (denda karena berbuat salah). Pappasala dengan sunrang dimasukkan dalam ‘kampu’ disertai ‘leko’ sikampu’ (sirih pinang dalam kampu). Keluarga tu-mannyala juga yang wajib menyiapkan dalam pertemuan itu antara lain hidangan adat.
Pada waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala (orang yang telah berbuat salah/aib) datang dengan keluarga yang mengiringinya ke rumah salah seorang tu-masirik (orang yang menderita malu atau yang dipermalukan). Sementara itu keluarga tu-masirik telah pula hadir. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak to-mannyala/tu-mappakasirik yang diterima oleh tu-masirik maka berakhirlah dendam dan ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi meminta maaf kepada keluarga tu-masirik yang hadir dan pada saat itu dirinya resmi diterima sebagai keluarga yang sah menurut adat.
Dalam hal diatas, dikatakan bahwa apabila terjadi perkawinan lari, maka oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki itu akan dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga. Hal tersebut jelas bertentangan dengan hukum positif yang terdapat di Indonesia. Tertulis jelas dalam KUHP, tentang kejahatan terhadap nyawa yang diatur mulai dari pasal 338 sampai dengan 367. Hal diatas dapat melanggar pasal 338 yang berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Bahkan, dapat dikaitkan juga dengan pembunuhan berencana, karena pembunuhan yang dilakukan sudah dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, bunyi dari pasal 340 KUHP yaitu:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Dengan begitu, Proses Abbajik (Berbaikan) yang terdapat dalam budaya Bugis, Makassar dapat dikatakan bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena sudah jelas-jelas tidak diperbolehkannya merampas nyawa orang lain dalam hal apapun dan sudah tertulis jelas dalam KUHP dalam bab Kejahatan Terhadap Nyawa.