Thursday 30 June 2016

Pengertian Advokasi



Advokasi atau dalam bahasa internasional (Inggris) dikenal dengan sebutan advocacy adalah suatu bentuk tindakan yang menjurus pada pembelaan, dukungan, atau suatu bentuk rekomendasi, yaitu dukungan aktif. Advokasi juga diartikan sebagai suatu bentuk usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dengan berbagai macam pola komunikasi persuasif. Definisi advokasi sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh para ahli dibidang ini memang sangat beragam. Sementara itu, pengertian advokasi secara ringkasnya adalah sebuah upaya atau suatu proses untuk mendapatkan komitmen yang dalam hal ini di lakukan dengan cara persuasif yang menggunakan keakuratan dan ketepatan suatu informasi.
Menurut para ahli seperti Sheila Espine Vilaluz advokasi ialah aksi strategis dan terpadu yang dilakukan oleh indivudu maupun kelompok untuk memberi masukan isu ataupun masalh kedalam rancangan dan rencana kebijakan. Serta advokasi dapat berarti membangun suatu basis pendukung terhadap kebijakan publik yang diambil guna menyelesaikan persoalan yang ada. Sedangkan menurut Kaminski dan Walmsley pada tahun 1995 berpendapat bahwa pengertian advokasi: "Merupakan suatu pekerjaan yang memberikan petunjuk atas keunggulan pekerjaan sosial dibandingkan profesi yang lain. Selain itu "advokasi" diartikan sebagai aksi dalam mengubah kebijakan.

a.    Jenis / teknik dalam Advokasi
b.    Para pihak dalam Advokasi

Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat diklasfikan sebagai berikut:
  1. Mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan (PMII, HMI, KAMMI, FMN, LMND, dan lain-lain)
Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan mahasiswa untuk mewadahi bakat, minat dan potensi mahasiswa yang dilaksanakan di dalam kegiatan ko dan ekstra kurikuler.
https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_mahasiswa
  1. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau disebut juga organisasi non-pemerintah
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat
  1. Komunitas masyarakat petani, nelayan, dan lain-lain
  2. Organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok yang mewakili interest para anggotanya, termasuk organisasi akar rumput
  3. Organisasi masyarakat keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, PHDI, PWI, PGI, Walubi, dan lain-lain)
  4. Asosiasi-asosiasi bisnis
  5. Media
alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya), berguna sebagai penghubung
http://kbbi.web.id/media
  1. Komunitas-komunitas basis (termasuk klan dan asosiasi RT, Dukuh, Lurah, dan lain-lain). Contoh: FBR, Pandu, Apdesi, dan Polosoro
  2. Persatuan buruh dan kelompok-kelompok lain yang peduli akan perubahan menuju kebaikan

c.    Tahapan dalam Advokasi

a.       Membentuk lingkar inti: Langkah pertama dari proses advokasi adalah memebentuk lingkar inti, yaitu kumpulan orang atau organisasi yang menjadi penggagas serta pengendali utama seluruh kegiatan advokasi. Sedemikian pentingnya posisi ini, sehingga orang atau organisasi yang berada didalamnya haruslah memiliki kesamaan visi dan analisis (bahkan ideologi) yang jelas terhadap issu yang diadvokasi.
b.      Memilih issu strategis: Tugas pertama dari lingkar inti adalah merumuskan issu tertentu yang diadvokasi. Issu yang dirumuskan tersebut dapat dikatakan menjadi suatu issu strategis jika: Aktual, Penting dan mendesak, Sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, Berdampak positif pada perubahan sosial yang lebih baik, Sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial yang lebih besar.
c.       Merancang sasaran dan strategi: Dalam merancang sasaran dan strategi dapat digunakan metode SMART, yaitu: Spesifik; dalam arti rumusan sasaran memang spesifik, kongkrit, dan jelas. Measurable; dalam arti hasilnya punya indikator yang jelas sehingga dapat dipantau dan diketahui. Realistis; dalam arti apakah sasaran mungkin dapat dicapai. Time Bound; dalam arti punya batas waktu yang jelas.
d.      Mengolah data dan mengemas informasi: Salah satu cara yang dikenal dalam mengolah data dalam proses advokasi adalah dengan melakukan riset advokasi. Riset advokasi sebenarnya lebih merupakan riset terapan, terutama dalam bentuk kajian kebijakan dengan tujuan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan mengolahnya sebagai informasi yang diperlukan untuk mendukung semua kegiatan lain dalam proses advokasi; dalam rangka memilih dan merumuskan issu strategis, sebagai bahan proses legislasi, untuk keperluan lobby dan kampanye, dan sebagainya


e.    Contoh kasus
Asal muasal terjadinya sengketa lingkungan hidup yang terjadi disebabkan oleh pihak CV. Arjuna yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di dekat areal persawahan warga dengan tidak menyediakan penampungan limbah hasil tambang yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya luapan air ke sawah-sawah warga saat hujan. Sugianto yang juga selaku Ketua RT. 13 Kelurahan Makroman yang memaparkan bahwa semenjak terjadinya luapan air di RT. 13, warga mulai mengajukan aksi protes kepada pihak CV. Arjuna dengan cara menutup jalan akses ke perusahaan sebanyak 2 (dua) kali dan 1 (satu) kali aksi protes di depan Kantor Walikota Samarinda. Melihat kejadian ini, dari pihak Pemerintah juga ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, salah satunya dengan mempertemukan warga dengan pihak CV. Arjuna. Salah satu pertemuan yang terjadi untuk membahas permasalahan lingkungan di Kelurahan Makroman, CV. Arjuna sempat mengundang perwakilan warga yang diwakilkan oleh Baharrudin serta dengan mengundang pihak Pemerintah yaitu Dinas Pertambangan Dan Energi (DISTAMBEN) Kota Samarinda sebagai penengah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Baharrudin dan Irman Irawan (selaku perwakilan warga) dan Resta (selaku perwakilan CV. Arjuna) ditengahi oleh Rusdi (pihak Pemerintah yaitu DISTAMBEN Kota Samarinda), yang hasil dari kesepakatan tidak tertulis tersebut ialah ganti rugi yang harus dikeluaran pihak CV. Arjuna sebesar Rp. 4.000.000.- (4 Juta Rupiah) kepada masing-masing kepala keluarga (15 kepala keluarga) yang sawahnya terkena luapan air.

Outsourcing menurut UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Putusan MK 27 2011, dan Putusan Menteri 19 2012



·         Menurut UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam UU no. 13 Tahun 2003, Outsourcing secara jelas diatur pada pasa 64, 65 dan 66.

Dikatakan pada pasal 64 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada eprusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam hal diatas, tidak dijelaskan pekerjaan yang bagaimana yang termasuk sebagai pekeraan Outsourcing, oleh karena itu perusahaan menentukan sendiri bagian-bagian mana yang merupakan pekerjaan dari Outsourcing.

Pada pasal 65 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. dijelaskan juga secara jelas syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain, antara lain:
-          Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
-          Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
-          Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
-          Tidak menghambat produksi secara langsung
-           
Perusahaan lain yang terlibat tersebut harus berbentuk badan hukum. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya, dan hubungan kerja tersebut dapat didasarkan atau perjajian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan pada pasal 59 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 65 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih menekankan kepada syarat-syarat dan penjelasan bagaimana Outsourcing dilakukan.
Pada pasal 66 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok, yang artinya Outsourcing hanya boleh melakukan pekerjaan diluar pekerjaan pokok dari perusahaan tersebut, pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(Pasal 66 ayat 2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
-          Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
-          Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan /atau perjanjian kerja oleh kedua belah pihak
-          Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
-          Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini..
Dalam pasal 66 ini lebih dijelaskan lagi apa saja pekerjaan yang dilakukan oleh Outsourcing, intinya Outsourcing hanya menjalankan pekerjaan yang bukan pekerjaan pokok dari perusahaan tersebut.

·         Menurut Putusan MK 27/2011

Menurut putusan MK 27/2011, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 atas permintaan pemerintah. Dalam hal ini, permintaan pemohon salah satunya yaitu melakukan pengujian terhadap pasal 64, 65 dan 66 UU no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalu perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Penyerahan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU 13/2003. Namun demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh.

Pada keseluruhannya, Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian permintaan pemohon, yaitu:

-          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
-          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(Dikutip langsung dari Putusan MK 27/2011)


·         Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia no. 19 Tahun 2012

Pada peraturan menteri no.19 tahun 2012 ini, dijelaskan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan kepada perusahaan lain (Outsourcing). Tidak jauh berbeda dengan syarat syarat yang ada pada pasal 65 Undan-Undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Seperti halnya:
-          Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
-          Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.  
-          Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.  
-          dan lain-lain
Putusan menteri ini lebih memfokuskan kepada syarat-syarat bagaimana Outsourcing ini dilakukan sehingga lebih memberi kejelasan tentang syarat-syarat Outsourcing itu sendiri. Dalam putusan menteri no.19 tahun 2012 ini terdapat 6 bab, yang terdiri dari:
-          Ketentuan Umum
-          Pemborongan Pekerjaan
-          Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
-          Pengawasan
-          Ketentuan Peralihan
-          Ketentuan Penutup