Sunday 30 August 2015

Blue Collar Crime



Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang dilakukan secara konvensional seperti misalnya perampokkan, pencurian, pembunuhan dan lain-lain
Penanggulangannya adalah:

  • Keluarga
Keluarga merupakan awal proses sosialisasi dan pembentukan kepribadian seorang anak. Kepribadian seorang anak akan terbentuk dengan baik apabila ia lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga yang baik begitu sebaliknya.

  • Lingkungan tempat tinggal dan teman sepermainan
Lingkungan tempat tinggal juga dapat mempengaruhi kepribadian seseorang untuk melakukan penyimpangan sosial. Seseorang yang tinggal dalam lingkungan tempat tinggal yang baik, warganya taat dalam melakukan ibadah agama dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik maka keadaan ini akan memengaruhi kepribadian seseorang menjadi baik sehingga terhindar dari penyimpangan sosial dan begitu juga sebaliknya.

  • Media massa
Media massa baik cetak maupun elektronik merupakan suatu wadah sosialisasi yang dapat mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pencegahan agar tidak terpengaruh akibat media massa adalah apbila kamu ingin menonton acara di televisi dengan memilih acara yang bernilai positif dan menghindari tayangan yang dapat membawa pengaruh tidak baik.

White Collar Crime



Untuk mengenal bagaimana penanggulangan terhadap WCC (White Collar Crime) kita harus tahu dulu apa itu WCC. Terdapat beberapa kalangan ilmuwan sosial yang mengemukakan defenisi tentang White-Collar Crime. Akan tetapi, istilah White-Colar Crime pertama kali dikemukakan oleh Sutherland yang dikenalkan dengan istilah White-Collar Criminal. Menurut Sutherland white-collar criminal adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya (1949:9) .
Pendapat lain yang dikemukakan Edward Alshworth Ross (1907) yang mengistilahkan white colar crime dengan istilah lain yaitu Criminaloid. Criminoloid menurut Edward Alshwort Ross adalah : “Orang yang memperoleh kemakmuran dengan melakukan tindakan yang memalukan tetapi belum merupakan tindakan yang dilarang oleh masyarakat. Sesungguhnya mereka bersalah menurut kacamata hukum; namun karena di mata masyarakat dan menurut dirinya sendiri adalah tidak bersalah, tindakannya tidak disebut sebagai kejahatan. Pembuat hukum dapat saja menyatakan tindakannya yang tidak benar tersebut sebagai kejahatan, namun karena moralitas berpihak padanya, mereka luput dari hukuman dan celaan” .
Dilain pihak, Albert Morris (1935) mengemukakan istilah criminals of the upperworld sebagai istilah lain dari white colar crime. Dalam konsepsinya Albert Moris berpendapat bahwa “penjahat-penjahat kalangan atas merupakan batasan tentang banyak orang yang tidak pernah secara jelas dikategorikan sebagai kelompok penjahat yang karena kedudukan sosialnya, kepandaiannya, dan cara-cara melakukan kejahatannya yang menyebabkan mereka dapat bergerak seperti warga masyarakat umum lainnya, yang tak pelak lagi terbebas dari kemungkinan diketahui sebagai penjahat dan dihukum sebagai penjahat” .
Berdasarkan pengertian diatas, white colar crime dapat dicirikan yang antara lain adalah:
• Penyalahgunaan wewenang
• Demi keuntungan/kepentingan pribadi
• Pelaku dengan status sosial terhormat
• Pelaku adalah individu/kelompok berpendidikan tinggi
• Dampak jangka panjang
• Korban tidak menyadari
Dengan begitu, menurut Myrdal (dalam Lubis, 1987), memberikan saran bagaimana menanggulangi WCC, antara lain:
  1. Pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
  2. Administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas
  3. Pengadakan pengawasan yang lebih keras,
  4. Kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin
  5. Gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin
  6. Satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat
  7. Hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.

Ada pula menurut Kartono (1983) menyarankan antara lain:
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan "achievement" dan bukan berdasarkan sistem "ascription".
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.