Wednesday 30 November 2016

Sejarah Hak Asasi Manusia



Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

Perlindungan hak asasi manusia memiliki sejarah yang panjang. Sejak awal abad ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan jaminan perlindungan hak asasi manusia telah dimulai, namun usaha ini mengalami kemajuan yang pesat pada abad ke-20. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia secara kodrati. Pengakuan hak asasi manusia lahir dari keyakinan bahwa semua umat manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama. Umat manusia pun dikaruniai akal dan hati nurani sehingga harus memperlakukan satu sama lain secara baik dan beradab dalam suasana persaudaraan.

Semua hak yang diakui secara universal sebagai HAM antara lain:

    1)        Hak atas hidup
    2)        Kebebasan, dan
    3)        Keamanan

Setiap orang memiliki hak untuk tidak dikenakan penangkapan, penahanan dan pembuangan secara sewenang-wenang, dan berhak sepenuhnya untuk didengar secara adil dan terbuka oleh sebuah mahkamah yang bebas  dan tidak memihak. Untuk mengukuhkan jaminan perlindungan HAM, maka pada tanggal 10 Desember 1948, melalui Sidang Umum di Caillot, Paris telah dikeluarkan Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Huan Rights).

Usaha bangsa-bangsa di dunia dalam melindungi hak asasi manusia secara universal memakan waktu yang tidak sebentar. Usaha ini telah dimulai sejak sejumlah perjanjian atau traktat dimasukkan kedalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Namun usaha perlindungan HAM yang dilakukan oleh suatu negara telah dimulai jauh sebelum memasuki abad ke-20.

Kita mulai dari Inggris. Usaha untuk melindungi hak-hak asasi manusia telah ditempuh sejak tahun 1215 dengan ditandatanganinya Magna Charta oleh Raja John Lockland. Piagam ini berisi beberapa hak yang diberikan oleh Raja John kepada beberapa bangsawan bawahannya dan kaum grejani atas sejumlah tuntutan yang diajukan mereka. Dengan demikian, piagam ini melindungi kaum bangsawan dan grejani dari kekuasaan Raja John yang amat luas.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan penandatanganan Petition of Right pada 1628 yang dilakukan Raja Charles I. Jika dibandingkan dengan Magna Charta, kandungan Petition of Right banyak mengalami kemajuan, Bila penandatanganan Magna Charta dilatarbelakangi oleh sejumlah tuntutan yang diajukan kaum bangsawan dan grejani, maka kelahiran Petition of Right dilatarbelakngi oleh munculnya sejumlah tuntutan rakyat yang diwakili oleh Parlemen atau House of Common. Pada hakikatnya, rakyat Inggris menginginkan adanya pembatasan kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Lalu kenapa rakyat Inggris menginginkan kekuasaan raja dibatasi? Menurut Lord Acton, manusia memiliki kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas, pasti akan menyalahgunakannya. (powen tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely)

Usaha pembatasan kekuasaan raja untuk melindungi HAM juga dilakukan oleh bangsa Prancis. Usaha perlindungan HAM di Prancis lahir dari Revolusi yang bertujuan untuk menghancurkan sistem pemerintahan yang absolut dan menggantinya dengan tatanan pemerintahan yang baru yang lebih demokratis. Para filosof yang berpengaruh pada saat itu ada Thomas Hobbes, John Locke dan Montesquieu.

Thomas Hobbes dan John Locke merupakan tokoh yang meletakkan dasar-dasar teori perjanjian masyarakat. Akan tetapi disini ada perbedaan dari kedua tokoh tersebut. Teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan Thomas Hobbes melahirkan ajaran monarki absolut. Teori perjanjian yang dikembangkan John Locke melahirkan ajaran monarkhi konstitusional. John Locke memandang bahwa masyarakat dan bernegara merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yakni Puctum unionis, perjanjian antar anggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara, dan Puctum subjectionis, dimana puctum subjectionis sebagai perjanjian antar rakyat dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika berhadapan dengan kekuasaan sang penguasa. Menurut Locke, tugas negara adalah melindungi hak-hak individu, yakni hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan han milik (estate). Jaminan perlindungan hak-hak tadi dituangkan dalam konstitusi, sehingga ajaran Locke sering disebut Monarki konstitutional.

Montesquieu bersama dengan Rosseau melahirkan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara pada tahun 1789. Deklarasi inilah yang kemudian melahirkan hak atas kebebasan (Liberty), harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan terhadap penindasan (resistance to oppression).

Dari Inggris dan Prancis, kita terbang ke Amerika Serikat. Perkembangan sejaran perlindungan hak asasi di Amerika memiliki kaitan dengan pengalaman bangsa Inggris dan Prancis. Sumbangan pengalaman Bangsa Inggris di Amerika Serikat terlihat dari pengaruh John Locke terhadap kandungan Declaration of Independnce Amerika Serikat yang disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang pada tanggal 4 Juli 1776. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat mengakui bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah hak yang melekat secara kodrati. Hak-hak tersebut adalah;

1. Hak hidup,(life)
2. Kebebasan (liberty),
3. Hak untuk mengejar kebahagiaan (pursuit of happines)

Perkembangan perlindungan hak asasi di Amerika Serikat mirip dengan perkembangan yang dialami Prancis, dimana konsep kedaulatan negara berada di tangan rakyat sebagaimana dianut Amerika, dianut pula oleh Prancis. Kedua negarapun memperjuangkan hak asasi melalui revolusi dan pada tahun yang sama, kedua negara menandatangani naskah masing-masing. Prancis dengan Declaration des droits de L'homme et du citoyen pada tahu 1789, dan Amerika pun mengeluarkan Undang-Undang hak atau bill of right yang akhirnya menjadi bagian dari undang-undang dasar Amerika Serikat pada tahun 1791.



Sejarah HAM Di Indonesia Berdasarkan dari Periode Perkembangannya

Untuk sejarah perkembangan HAM di Indonesia terbagi menjadi dua periode menurut Prof. Dr. Bagir Manan, yang ada dalam buku berjudul Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM, yaitu:

-          Sebelum kemerdekaan (1908 – 1945)

Untuk perkembangan HAM dalam periode ini banyak dijumpai pada organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia, seperti Budi Uetomo (hak mengeluarkan pendapat), Serekat Islam (hak hidup layak dan bebas penindasan), Perhimpunan Indonesia (hak menentukan nasib sendiri), dan Partai Komunis Indonesia (hak berkaitan dengan alat produksi).

-          Sesudah kemerdekaan (1945 – hingga sekarang)

Untuk pemikiran ham pada periode ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Pada periode ini juga HAM semakin berkembang dan menekankan kepada hak-hak mengenai:

    Hak kebebasan dalam menyampaikan pendapat terutaama pada parlemen pemerintahan
    Self dtermination yang artinya hak untuk merdeka
    Hak kebebasan untuk berserikat melalui suatu organisasi politik yang telah didirikan

Untuk secara ringkas di bawah ini perkembangan HAM pada periode-periode yang ada pasca kemerdekaan:

-          Periode 1950 – 1959

Pada periode ini lebih menekankan kepada kebebasan dalam berdemokrasi secara liberal dengan berfokus kepada kebebasan individu.

-           Periode 1959 – 1966

Pada periode ini HAM tidak mendapatkan perkembangan yang cukup luas, yang artinya pemerintah melakukan pemasungan terhadap HAM, HAM hanya berpusat pada hak sipil, seperti hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan aspirasi melalui tulisan.

-             Periode 1966 – 1998

Pada periode ini HAM semakin berkembang dengan pesat, dimulai dari diberikannya hak uji materil dari Mahkamah Agung dan pemikiran HAM tidak lagi hanya sekedar wacana saja melainkan sudah dibentuk dengan lembaga penegakkan hukum yang berlaku.

-           Periode 1998 – sekarang

Pada periode ini HAM telah mendapatkan perhatian resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM dan telah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasai Manusia.

Sumber:

Kebijakan Publik



Wiliiam N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik, pengertiannya sebagai berikut:
“Kebijakan Publik (Public Policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah”
Kebijakan publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu dengan yang lainnya, dimana didalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan agar dapat dijadikan sebagai mekanisme pengawasan terhadap kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.[1]

1.      Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu kebijakan publik. Menurut William N. Dunn suatu perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Hal tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dunn pun menjelaskan bahwa:
“Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru”
Merumuskan masalah dapat dikatakan tidaklah mudah karena sifat dari masalah publik bersifat kompleks. Oleh sebab itu lebih baik dalam merumuskan masalah mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya. Pertama, suatu masalah tidak dapat berdiri sendiri oleh sebab itu, selalu ada keterkaitan antara masalah yang satu dengan yang lain. Sehingga dari hal tersebut mengharuskan dalam analisis kebijakan untuk menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan dapat mengetahui akar dari permasalahan tersebut.
Kedua, masalah kebijakan haruslah bersifat subyektif, dimana masalah tersebut merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Ketiga, yaitu suatu fenomena yang dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk mengubah situasi. Keempat, suatu masalah kebijakan solusinya dapat berubah-ubah. Maksudnya adalah kebijakan yang sama untuk masalah yang sama belum tentu solusinya sama, karena mungkin dari waktunya yang berbeda atau lingkungannya yang berbeda.

2.      Implementasi Kebijakan Publik, Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah, implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir. Seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi relisasi program yang dilaksanakan. Dunn mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus dengan menyebutnya implementasi kebijakan  (policy implemtation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu.[2]
Implementasi kebijakan menurut pendapat di atas, tidak lain berkaitan dengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan. Kebijakan publik tersebut diimplementasikan melalui bentuk program-program serta melalui turunan. Turunan yang dimaksud adalah dengan melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Menurut Darwin terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan proses implementasi yang perlu dilakukan, setidaknya terdapat empat hal penting dalam proses implementasi kebijakan, yaitu pendayagunaan sumber, pelibatan orang atau sekelompok orang dalam implementasi, interpretasi, manajemen program, dan penyediaan layanan dan manfaat pada public.
Persiapan proses implementasi kebijakan agar suatu kebijakan dapat mewujudkan tujuan yang diinginkan harus mendayagunakan sumber yang ada, melibatkan orang atau sekelompok orang dalam implementasi, menginterprestasikan kebijakan, program yang dilaksanakan harus direncanakan dengan manajemen yang baik, dan menyediakan layanan dan manfaat pada masyarakat. Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, Subarsono mengutip pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Kondisi lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, lingkungan tersebut mencakup lingkungan sosio cultural serta keterlibatan penerima program.
2.      Hubungan antar organisasi. Implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
3.      Sumberdaya organisasi untuk implementasi program. Implementasi kebijakan perlu disukung sumberdaya, baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources).
4.      Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. Maksudnya adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi dimana semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program
Berdasarkan faktor di atas, yaitu kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi untuk mengimplementasi program, karakteristik dan kemampuan agen pelaksana merupakan hal penting dalam mempengaruhi suatu implementasi program. Sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kinerja dan dampak dari suatu program yaitu sejauh mana program tersebut dapat mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan.

3.      Evaluasi Kebijakan Publik, Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik, evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan baik atau tidak. Evaluasi mempunyai definisi yang beragam, William N. Dunn, memberikan arti pada istilah evaluasi bahwa:
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan”
Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan. Menurut Lester dan Stewart yang dikutip oleh Leo Agustino dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Kebijakan Publik bahwa evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan
dan untuk mengetahui apakah kebijakan telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan. Jadi, evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik dapat meraih hasil yang diinginkan.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:
a.       Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.
b.      Bahwa penilaiaan itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan manajemen
c.       Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan yang sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya dicapai”
Pendapat di atas dapat diperoleh gambaran bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur serta membandingkan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan yang telah dicapai dengan hasil yang seharusnya menurut rencana. Sehingga diperoleh informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan, serta dapat dilakukan perbaikan bila terjadi penyimpangan di dalamnya. Menurut Muchsin, evaluasi kebijakan pemerintah adalah sebagai hakim yang menentukan kebijakan yang ada telah sukses atau gagal mencapai tujuan dan dampak-dampaknya (Muchsin dan Fadillah, 2002:110). Evaluasi kebijakan pemerintah dapat dikatakan sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak untuk dilanjutkan, direvisi atau bahkan dihentikan sama sekali.

4.      Fungsi dan Karakteristik Evaluasi Kebijakan Publik, Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu:
“Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi”
Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga kepantasan dari  kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru atau merevisi kebijakan. Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya yaitu:
a.       Fokus nilai, Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.
b.      Interdependensi Fakta-Nilai, Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun “nilai”.
c.       Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau, Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan.
d.      Dualitas nilai, Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.
Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari kebijakan tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.



[1] Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
[2] Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press