Friday 29 April 2016

Advokasi Sebagai Alat Pengubah Kebijakan Publik



Pendahuluan
            Advokasi adalah sebuah kata bertuah yang sangat populer sejak reformasi bergulir. Berbagai pihak telah mempopulerkan istilah itu, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, dosen hingga aparatur pemerintah. Tujuan mereka adalah untuk memberdayakan masyarakat kecil. Berbagai program pun menyertai advokasi tersebut. Tetapi, hidup masyarakat kecil tak pernah berubah. Mereka masih hidup seperti dulu: menderita dan tertindas. Tidak heran bila masyarakat kecil tidak tertarik lagi mengikuti kegiatan advokasi yang diadakan oleh berbagai pihak.
            Dari kaca mata akademis, advokasi adalah sebuah alat. Ia berguna buat mengubah kebijakan publik. Sebagai gambaran, dalam tradisi penelitian kebijakan publik, paling tidak ada dua tipe penelitian yang menggunakan kata advokasi, yakni advokasi proses dan advokasi kebijakan. Karena itu, advokasi akan tetap menjadi kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kebijakan publik. Persoalannya adalah, apa dan bagaimana advokasi sebagai alat pengubah kebijakan publik? Uraian berikut akan mendiskusikan jawabannya.
Makna advokasi
            Secara umum advokasi adalah aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara sistematis dan terencana, dilakukan secara kolektif untuk mengubah kebijakan publik dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia. Menurut sosiologi, aksi berbeda dengan perilaku. Aksi mengandung tujuan dan dilakukan secara sadar. Sedangkan perilaku bisa terjadi tanpa tujuan dan tanpa sadar (Abercrombie et.al. 1988:2). Dari sinilah kemudian Max Weber melahirkan teori aksi yang menjadi sebuah grand theory dalam sosiologi.
            Bertolak dari pengertian di atas advokasi melibatkan berbagai strategi. Strategi ini malah menjadi salah satu dasar pokok bagi keberhasilan advokasi. Karena itu, dalam merancang advokasi, kita perlu mempertimbangkan dan menyusun strategi secara komprehensif.
             Memang tidak mudah memilih dan menyusun strategi dalam untuk sebuah advokasi. Semakin kompleks permasalahan yang akan diusung, semakin susah pula mencari dan menyusun strategi. Tetapi, akan jauh lebih parah kalau kita membiarkan kebijakan publik yang merugikan rakyat atau bahkan akan menimbulkan bencana buat rakyat. Karena itu, sekalipun sulit, berbagai pihak tetap “nekad” melakukan advokasi.
            Pada titik ini, barangkali timbul pertanyaan di benak kita, apakah advokasi bagian dari rekayasa sosial (social engineering)? Dalam tetaran tertentu, ya. Sebab, menurut Jalaludin Rakhmat, rekaya sosial adalah perubahan sosial yang direncanakan (planned social change) (1991:46). Bukankah advokasi memang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Sekalipun tujuannya untuk mengubah kebijakan publik, toh pelaksanaan kebijakan public yang baru akan menimbulkan perubahan sosial.
Tujuan advokasi
            Dari sisi sosiologi, tujuan advokasi adalah menempatkan perubahan sosial sebagai bagian dari dinamika yang dikendalikan oleh masyarakat. Perubahan sosial sendiri gampang terjadi. Sebab, ia bisa terjadi karena berbagai hal, seperti tekanan demografis, konflik kepentingan, penemuan teknologi, perkembangan sistem kepercayaan, perubahan alat produksi, terbukanya hubungan dengan dunia internasional dan sebagainya. Kalau tidak ada perubahan sosial dalam sebuah masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak dinamis.
            Tetapi, idealnya perubahan sosial dalam satu sistem sosial dikendalikan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat tidak hanya jadi obyek semata dalam sebuah perubahan sosial. Masyarakat harus menjadi subyek perubahan sosial. Kalau ini sudah terjadi, maka masyarakat bisa mengendalikan dinamika perkembangan mereka sendiri.
            Nah, advokasi mengajak masyarakat untuk menjadi subyek dalam perubahan sosial. Advokasi mengajak masyarakat agar ikut mengendalikan perkembangan yang terjadi pada diri mereka. Advokasi mengajak masyarakat untuk tidak bersedia “dikadalin” oleh pihak penguasa ketika menciptakan sebuah perubahan sosial. Misi advokasi sangat sederhana: kalau ada perubahan sosial dalam sebuah masyarakat—berapa pun luasnya, maka masyarakat harus ikut menentukan arah perubahan itu.
            Bertolak dari sini kita bisa mengatakan bahwa advokasi hanya mungkin berhasil  di negara yang demokratis. Sebab, salah satu prinsip dalam demokrasi, seperti ditulis oleh Robert A. Dahl, adalah: demokrasi membantu rakyat melindungi kepentingan dasarnya (2001: 72). Lewat advokasi, rakyat disadarkan bahwa mereka punya hak dan kesempatan untuk melindungi kepentingan mereka. Rakyat digugah bahwa mereka perlu menjadi obyek dalam perubahan yang menyangkut diri mereka sendiri.
Bidang kerja advokasi
            Setidaknya terdapat dua bidang kerja yang menjadi garapan advokasi. Pertama, ideologis. Dalam konteks ini advokasi ingin mengubah tatanan yang ada. Hanya tatanan barulah yang dipercaya bisa menciptakan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera. Karena menyangkut kepercayaan, ia bisa sangat ketat, tetapi bisa juga biasa saja. Yang jelas, kepercayaan sulit berubah. Ia sudah merupakan sumber kebenaran.
            Kedua, strategis. Di sini advokasi digunakan untuk memenangkan pertarungan. Ia dipercaya bisa memberikan kemenangan bagi pihak yang melakukannya. Karena itu, ia dipakai sebagai usaha untuk mengcounter isu-isu yang diungkapkan oleh pihak lawan. Semakin banyak isu yang diungkapkan oleh pihak lawan, semakin keras pula usaha mengcounternya.
            Maka, pihak-pihak yang akan melakukan advokasi harus mengetahui bidang kerja advokasi secara persis. Bidang kerja ideologis mengangankan perubahan mendasar dan menyangkut struktur sosial dalam masyarakat. Sedangkan bidang kerja strategis lebih mengarah pada masa sekarang dan menyangkut kepentingan praktis, seperti pajak penerangan jalan dan sebagainya.
Bentuk-bentuk advokasi
            Ada sebuah dalil yang berlaku dalam kegiatan advokasi. Yakni, untuk kegiatan advokasi, diperlukan berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan ini disesuaikan dengan kondisi khalayak. Khalayak yang punya kekuatan penekan yang bisa dihandalkan tidak diajak berdemonstrasi, melainkan membangun koalisi. Sebaliknya, khalayak di tingkat akar rumput jangan diajak berkampanye, tetapi menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi.
            Bila dilihat lebih jauh, bentuk kegiatan advokasi terdiri atas: (i) kampanye: (ii) lobi; (iii) mengorganisasikan kelompok korban; (iv) menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi; dan (v) membangun koalisi. Setiap bentuk kegiatan punya karakteristik yang khas. Ia efektif dilakukan pada khalayak tertentu dan situasi tertentu pula.
            Tetapi, di negara-negara yang sudah maju, advokasi lebih banyak dilakukan dalam bentuk lobi, kampanye dan membentuk koalisi. Ini terasa logis. Sebab, masyarakatnya sudah memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang sebuah kebijakan publik. Sementara itu, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, advokasi lebih mengacu pada kegiatan mengorganisasikan kemlompok korban dan menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi.  
Konteks advokasi
            Lalu, untuk pelayanan kesehatan, apa yang bisa diharapkan dari advokasi? Karena advokasi merupakan alat untuk mengubah kebijakan publik dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan dari bencana buatan manusia, maka pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan bisa melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan pelayanan kesehatan yang dirasakan tidak melindungi hak-hak rakyat. Mereka bisa, misalnya berkoalisi dengan media massa untuk menyebarkan opini bahwa kebijakan penjualan obat di Indonesia tidak menguntungkan masyarakat. Atau mereka bisa juga melobi kalangan DPR untuk mengamandemen UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
            Mungkin Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mungkin merasa tidak melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang dirancang oleh pemerintah sendiri. Bukankah ia juga merupakan bagian dari pemerintah? Tetapi, sebagai pihak yang berurusan dengan masyarakat di lapangan, bisa saja ia memiliki informasi penting tentang efektifitas sebuah kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan. Bertolak dari sini, ia melobi Departemen Kesehatan untuk mengubah kebijakan tersebut. Kalau kemudian kebijakan itu berubah, maka sesungguhnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersangkutan sudah melakukabn advokasi.
            Dengan demikian, advokasi bukan hanya bisa dilakukan oleh aktivis LSM atau masyarakat yang menjadi korban kebijakan publik saja, melainkan bisa juga dilakukan oleh lembaga pemerintah. Tinggal sekarang kemauan lembaga tersebut menilai kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang merugikan hak-hak rakyat dan kesediaan melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan tersebut.  
Penutup
            Begitulah, advokasi adalah alat yang bisa dipakai untuk mengubah kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang merugikan hak-hak rakyat. Kebijakan publik sendiri bermacam-macam, mulai dari Undang-Undang, Surat Keputusan Mennteri Kesehatan, Peraturan Daerah hingga Instruksi Presiden. Karena keadilan adalah soal yang paling buruk di negeri ini sampai sekarang, maka bukan mustahil kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang ada tidak menjanjikan keadilan buat rakyat. Tegasnya, kebijakan publik itu hanya menguntungkan pihak-pihak yang sudah mapan, seperti penguasa dan pengusaha.
            Kalau ini memang terjadi, sudah saatnya pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan tersebut. Tetapi, mereka perlu ingat dengan sebuah logika politik di negara yang demokrasi adalah, suara yang banyak bisa mengalahkan suara yang sedikit, sekalipun suara yang sedikit itu menyuarakan kebenaran. Artinya, kalau rasa-rasanya advokasi lewar DPR atau DPRD tidak akan berhasil, bisa dipakai cara lain, misalnya demonstrasi. Atau bisa juga mendemonstrasi anggota DPRD. Yang terakhir ini terjadi di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau beberapa tahun lalu. Setelah sepuluh hari lebih masyarakat berdemonstrasi di depan Gedung DPRD Kampar, akhirnya masyarakat puas: DPRD Kampar setuju memecat Bupati Kampar waktu itu, Jefri Noor.  


Referensi
Abercrombie, Nicholas, Hill Stephen, and Turner, Bryan S. 1988. Dictionary of Sociology. London: Penguin Books.
Dahl, Robert A. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rakhmat, Jalaludin. 1999. Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Alokasi Dana dari Pusat ke Daerah



Berdasarkan peraturan perundang-undangan serta mengacu pada hasil pembahasan antara Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, dalam rangka Pembicaraan Penyusunan APBN tahun 2011, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 diarahkan untuk
1. Meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance);
2. Menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;
4. Mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro;
5. Meningkatkan daya saing daerah;
6. Meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah;
8. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan
9. Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah.
Dana Perimbangan
Merupakan dana yang bersumber dari pendapatan dalam APBN yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Alokasi Dana Perimbangan sebesar Rp521,8 T pada APBN-P 2015.
Alokasi Dana Perimbangan pada APBN-P 2015 terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1. Dana Alokasi Umum (DAU).
Yaitu dana yang dialokasikan sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Pada APBN-P 2015 dialokasikan DAU sebesar Rp352,9 T.

2. Dana Alokasi Khusus (DAK).
Alokasi DAK dalam APBNP tahun 2015 direncanakan sebesar Rp58,8 T, yang mencakup:
  • DAK reguler Rp33,0 T untuk daerah yang memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis;
  • DAK tambahan untuk afirmasi kepada kabupaten/kota daerah tertinggal dan perbatasan yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah sebesar
    Rp2,8 T;
  • DAK untuk Pendukung Program Prioritas Kabinet Kerja (P3K2) dan DAK usulan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh DPR RI sebesar Rp23,0 T.
3. Dana Bagi Hasil (DBH).
Dialokasikan kepada daerah bersumber dari pendapatan APBN berdasarkan persentase tertentu guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH tersebut mencakup penyelesaian kurang bayar Rp11,9 T. Pada APBN-P 2015 DBH dialokasikan sebesar Rp110,1 T, yang terdiri atas DBH Pajak sebesar Rp54,2T dan DBH Sumber Daya Alam sebesar Rp55,8T.
Dana Transfer Lainnya
Dana yang dialokasikan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan tertentu berdasarkan undang-undang. Alokasi Dana Transfer Lainnya sebesar Rp104,4 T pada APBN-P 2015. Tujuan dari alokasi ini adalah untuk:
·         Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah Rp70,3 T untuk guru bersertifikasi;
·         Serta sebesar Rp1,1 T untuk tambahan penghasilan guru PNS Daerah nonsertifikasi.
·         Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Rp31,3 T untuk menstimulasi penyediaan anggaran pendidikan di daerah.
·         Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) Rp0,1 T dialokasikan sebagai insentif kepada daerah percontohan Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi.
·         Dana Insentif Daerah Rp1,7 T diberikan kepada daerah berprestasi. DID diberikan agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini WTP/WDP Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah dan menetapkan APBD secara tepat waktu.

Dana Keistimewaan DIY

Adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp0,5 T pada APBN-P 2015, yang meliputi:
  1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
  2.  Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
  3. Kebudayaan;
  4. Pertanahan; dan
  5. Tata ruang.

Dana Otonomi Khusus

Diberikan kepada daerah-daerah yang menjalankan otonomi khusus, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh. Alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar Rp17,1 T pada APBN-P 2015.
Alokasi tersebut naik sebesar Rp500,0 miliar atau 3,0 persen dari pagunya dalam APBN tahun 2015 yang sebesar Rp16,6 triliun. Kenaikan alokasi dana otonomi khusus tersebut disebabkan adanya kenaikan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.



Dana Desa

Adalah dana yang bersumber dari APBN untuk desa melalui mekanisme transfer melalui APBD kabupaten/kota yang digunakan untuk membiayai pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Sejalan dengan visi Pemerintah untuk “Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam Kerangka NKRI”, dialokasikan dana yang lebih besar pada APBNP 2015 untuk memperkuat pembangunan desa. Pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan menggunakan alokasi yang dibagi secara merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis. Dengan tambahan anggaran sebesar Rp11,7triliun, jumlah Dana Desa yang dialokasikan pada  APBN-P 2015 mencapai Rp20,8 T