Penegakan Hukum
Lingkungan
Lingkungan hidup yang
terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai kehidupan dan
memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keadilan antargenerasi dengan
cara meningkatkan pembinaan dan penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan
berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat
terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu
administratif, pidana dan perdata. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan
merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan
dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui
pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan, dan
keperdataan.[1]
A.
Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
Pembangunan
yang dilakukan sejak Pelita I dan kini sedang berada pada era reformasi adalah
pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Program pembangunan yang
dimaksud adalah pola kebijaksanaan pembangunan yang tidak mengganggu keseimbangan
ekosistem yakni pembangunan yang berorientasi kepada pengelolaan sumber daya
alam sekaligus mengupayakan perlindungan dan pengembangannya. Dasar
konstitusional pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam di negara kita ini
tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, “Bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Hak negara untuk
menguasai dan mengatur kekayaan negara yang terkandung di dalamnya ini
dijabarkan dalam UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Pasal 8 ayat (2) UUPLH
menetapkan bahwa pemerintah:
a. Mengatur dan mengambangkan
kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan,
pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,
termasuk sumber daya genetika;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan
hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap
sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika’
d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai
dampak sosial; dan
e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya
pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Kewenangan untuk
mengelola kekayaan negara terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan ini,
menurut pasal 4 UUPLH adalah bertujuan:
a. Tercapainya keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia
Indonesia seutuhny;
b. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya
secara bijaksana
c. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai
pembina lingkungan hidup;
d. Terlaksananya pembangunan berwawasan
lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang; dan
e. Terlindungnya negara terhadap dampak
kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan.
Ketentuan Pasal 3 UUPLH
menyatakan bahwa, pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam
rangkapembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat melakukan
pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan, kita dihadapkan
pada kasus-kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Hampir setiap hari
media massa memberitakan berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai
daerah. Kasus-kasus lainnya yang tidak sempat diberitakan, tentu masih lebih
banyak lagi. Sedang isu pokok Penegakan Hukum Lingkungan sampai dengan sekarang
ini masih berkisar pada:
-
Masalah pencemaran oleh
pihak industri
-
Masalah pencemaran
sungai
-
Masalah perusakan hutan
Dalam
rangka penegakan hukum lingkungan berkenaan dengan timbulnya kasus lingkungan
ini, terlebih dahulu perlu diketahui bagaimanakah terjadinya kasus lingkungan
atau sengketa lingkungan ini. Secara umum dapat dikemukakan bahwa timbulnya
sengketa lingkungan ini adalah disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:
1.
Adanya perbuatan manusia yang menimbulkan dampak negatif yang merusak atau
mencemari lingkungan sehingga merugikan bagi anggota masyarakat atau negara.
Kegiatan manusia atau badan hukum yang merusak atau mencemarkan lingkungan ini,
dalam sanksi perdata dibebani tanggung jawab dan kewajiban membayar ganti
kerugian kepada penderita dan atau biaya pemulihan lingkungan hidup kepada
negara; sedangkan dalam perkara pidana ancaman sanksi maksimum yang dapat
ditetapkan terhadap perusak atau pencemar lingkungan adalah dengan pidana
penjara selama-lamanya lima belas tahun dan denda sebanyak-banyaknya tujuh
ratus lima puluh juta rupiah.
2.
Adanya kebijaksanaan pemerintah berkenaan dengan pengalokasian sumber daya
tertentu yang tidak atau kurang memperhitungkan dampak lingkungan yang terjadi.
Salah satu instrumen untuk mencegah terjadinya sengketa lingkungan yang
diakibatkan oleh kebijaksanaan publik ini adalah dengan mengikuti prosedur
ketentuan seperti tercantum dalam PP No. 51 Tahun 1993 sebagaimana diperbaiki
dengan PP No.27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL) serta peraturan lainnya.
3.
Adanya penegakan hukum yang lemah. Hal ini berkaitan dengan aspek pengawasan,
pelaporan, dan peradilan. Hal yang penting dicermati adalah peranan penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya. Aparat pemerintah yang mengetahui terjadinya
perusakan atau pencemaran lingkungan ini harus tanggap dan menyelesaikannya
menurut ketentuan perundang-undangan.
B. Sarana Penegakan
Hukum
1.
Administratif
Sarana
administratif dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan
perundang-undangan lingkungan (misalnya: UU, PP, Keputusan Menteri Perindustrian,
Keputusan Gubernur, Keputusan Wali Kota, dan sebagainya). Penegakan hukum dapat
diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu
lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan sebagainya. Disamping
pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan administratif, kepada
pengusaha di bidang industri hendaknya juga ditanamkan manfaat konsep “Pollution Prevention Pays” dalam proses
produksinya.[2]
Sanksi
administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian
perbuatan terlarang. Di samping itu, sanksi administratif terutama ditujukan
kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar
tersebut. Beberapa jenis sarana penegakan hukum administratif adalah:
a.
Paksaan pemerintah atau tindakan paksa (Bestuursdwang);
b.
Uang paksa (Publiekrechtelijke dwangsom);
c.
Penutupan tempat usaha (Sluiting van een
inrichting);
d.
Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstellingvan
een toestel);
e.
Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan, dan uang
paksa.
2.
Kepidanaan
Delik
lingkungan yang diatur dalam pasal 41,42,43,44,45,46, dan 47 UUPLH adalah delik
material yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan
kausal antara perbuatan pencemar dan tercemar. Tata cara penindakannya tunduk
pada UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peranan penyidik
sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan bahan/alat bukti yang seringkali
bersifat ilmiah. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat
kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti sah sesuai dengan
ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUH. Disamping itu, pembuktian unsur hubungan
kausal merupakan kendala tersendiri. Pencemaran lingkungan sering terjadi
secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama
yang sifatnya kimiawi.
3.
Keperdataan
Mengenai
hal ini perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang
berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata
untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan.
Misalnya, penguasa dapat menetapkan persyaratan perlindungan lingkungan
terhadap penjualan atau pemberian hak membuka tanah (erfpachti) atas sebidang
tanah. Selain itu, terdapat kemungkinan “beracara singkat” (kortgeding) bagi
pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap
undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan
uang paksa (injuction).[3]
Gugatan
ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 20 ayat (1) dan
ayat (3) UULH, baik melalui cara berperkaradi pengadilan maupun cara Tim
Tripihak masih menemukan hambatan, sebagaimana telah diuraikan.
C. Penyelesaian Kasus
Lingkungan
1.
Jalur Musyawarah
Penyelesaian
di luar pengadilan atau jalur musyawarah ini dilakukan secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa, dimaksudkan penyelesaian kasus lingkungan tanpa
melalui putusan pengadilan. Sistem penyelesaian kasus lingkungan melalui jalur
musyawarah ini diprioritaskan untuk mengkaji pemanfaatan mediasi lingkungan
(environmental mediation).
Di
Amerika Serikat dan Kanada, demikian juga di Jepang, ternyata penyelesaian
kasus lingkungan lebih mengutamakan penggunaan environmental mediation (mediasi
lingkungan) dibanding dengan cara lainnya seperti konsiliasi atau arbitrasi.
Pilihan dalam perundingan, hal apa sebaiknya yang dilakukan untuk mengakhiri
sengketa dengan bantuan fasilitator (mediator).[4]
Dengan
demikian karakteristik mediasi lingkungan ini pada prinsipnya adalah:
(1)
kesukarelaan
(2)
persetujuan
(3)
prosesnya tidak mengikat
2.
Jalur Pengadilan
Penyelesaian
kasus lingkungan melalui proses pengadilan adalah cara terakhir yang dapat
dilakukan setelah kesepakatan melalui jalur musyawarah tidak berhasil. Hal ini
juga tercantum dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) UULH bahwa bilamana tim yang
terdiri atas pihak penderita atau kuasanya, dan unsur pemerintah tidak mencapai
kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
pengadilan negeri. Keputusan hakim terutama dalam kasus pidana diharapkan akan
sangat berpengaruh dalam rangka mengefektifkan sanksi, baik dalam fungsi
preventif atau represif.
D. Kendala dan Hambatan
dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Sejak
dibentuknya KLH pada 1998 sudah banyak yang dilakukan oleh pemerintah dengan
mengeluarkan peraturan-peraturan dalam penegakan hukum lingkungan namun
pelaksanaan di lapangan masih banyak kendala dan hambatannya yang ditemui.
Kendala dan hambatan itu terletak pada
beberapa faktor, yaitu:
1.
Inkonsistensi Kebijakan;
Berbagai
kebijakan operasional yang dikeluarkan seringkali tidak konsisten dengan
prinsip-prinsip PLH yang terkandung di dalam UU No.23 Tahum 1997 maupun UU yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup lainnya.
2.
Ambivalensi Kelembagaan;
Fungsi
kelembagaan pengelolaan lingkungan bersifat ambivalen dalam wewenang dan
pembagian tugas antara lembaga satu dengan lembaga lainnya.
3. Aparat Penegak Hukum;
4. Perizinan
Perizinan memang menjadi salah satu
masalah yang lebih banyak memberi peluang bagi berkembangnya masalah lingkungan
ketimbang membatasinya.
5. Sistem AMDAL;
Dalam praktiknya, AMDAL lebih mengarah
pada penonjolan pemenuhan ketentuan administratif daripada substansinya.
Artinya pesatnya permintaan akan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam
urusan perizinan dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk
mendapatkan akad kredit atau izin investasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Erwin, Muhammad,
Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika
Aditama, Palembang, 2007
No comments:
Post a Comment