Wednesday, 28 January 2015

Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan Hukum Lingkungan

Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu dikembalikan fungsinya sebagai kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keadilan antargenerasi dengan cara meningkatkan pembinaan dan penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif, pidana dan perdata. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan, dan keperdataan.[1]

A. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
            Pembangunan yang dilakukan sejak Pelita I dan kini sedang berada pada era reformasi adalah pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan. Program pembangunan yang dimaksud adalah pola kebijaksanaan pembangunan yang tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yakni pembangunan yang berorientasi kepada pengelolaan sumber daya alam sekaligus mengupayakan perlindungan dan pengembangannya. Dasar konstitusional pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam di negara kita ini tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Hak negara untuk menguasai dan mengatur kekayaan negara yang terkandung di dalamnya ini dijabarkan dalam UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Pasal 8 ayat (2) UUPLH menetapkan bahwa pemerintah:
a. Mengatur dan mengambangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika’
d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; dan
e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kewenangan untuk mengelola kekayaan negara terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan ini, menurut pasal 4 UUPLH adalah bertujuan:
a. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhny;
b. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana
c. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
d. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang; dan
e. Terlindungnya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Ketentuan Pasal 3 UUPLH menyatakan bahwa, pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangkapembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat melakukan pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan, kita dihadapkan pada kasus-kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Hampir setiap hari media massa memberitakan berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai daerah. Kasus-kasus lainnya yang tidak sempat diberitakan, tentu masih lebih banyak lagi. Sedang isu pokok Penegakan Hukum Lingkungan sampai dengan sekarang ini masih berkisar pada:
-          Masalah pencemaran oleh pihak industri
-          Masalah pencemaran sungai
-          Masalah perusakan hutan

Dalam rangka penegakan hukum lingkungan berkenaan dengan timbulnya kasus lingkungan ini, terlebih dahulu perlu diketahui bagaimanakah terjadinya kasus lingkungan atau sengketa lingkungan ini. Secara umum dapat dikemukakan bahwa timbulnya sengketa lingkungan ini adalah disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan manusia yang menimbulkan dampak negatif yang merusak atau mencemari lingkungan sehingga merugikan bagi anggota masyarakat atau negara. Kegiatan manusia atau badan hukum yang merusak atau mencemarkan lingkungan ini, dalam sanksi perdata dibebani tanggung jawab dan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita dan atau biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara; sedangkan dalam perkara pidana ancaman sanksi maksimum yang dapat ditetapkan terhadap perusak atau pencemar lingkungan adalah dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun dan denda sebanyak-banyaknya tujuh ratus lima puluh juta rupiah.

2. Adanya kebijaksanaan pemerintah berkenaan dengan pengalokasian sumber daya tertentu yang tidak atau kurang memperhitungkan dampak lingkungan yang terjadi. Salah satu instrumen untuk mencegah terjadinya sengketa lingkungan yang diakibatkan oleh kebijaksanaan publik ini adalah dengan mengikuti prosedur ketentuan seperti tercantum dalam PP No. 51 Tahun 1993 sebagaimana diperbaiki dengan PP No.27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) serta peraturan lainnya.

3. Adanya penegakan hukum yang lemah. Hal ini berkaitan dengan aspek pengawasan, pelaporan, dan peradilan. Hal yang penting dicermati adalah peranan penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Aparat pemerintah yang mengetahui terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan ini harus tanggap dan menyelesaikannya menurut ketentuan perundang-undangan.




B. Sarana Penegakan Hukum

1. Administratif
Sarana administratif dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan (misalnya: UU, PP, Keputusan Menteri Perindustrian, Keputusan Gubernur, Keputusan Wali Kota, dan sebagainya). Penegakan hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan sebagainya. Disamping pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan administratif, kepada pengusaha di bidang industri hendaknya juga ditanamkan manfaat konsep “Pollution Prevention Pays” dalam proses produksinya.[2]
Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Di samping itu, sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakan hukum administratif adalah:
a. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa (Bestuursdwang);
b. Uang paksa (Publiekrechtelijke dwangsom);
c. Penutupan tempat usaha (Sluiting van een inrichting);
d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstellingvan een toestel);
e. Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan, dan uang paksa.

2. Kepidanaan
Delik lingkungan yang diatur dalam pasal 41,42,43,44,45,46, dan 47 UUPLH adalah delik material yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara perbuatan pencemar dan tercemar. Tata cara penindakannya tunduk pada UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peranan penyidik sangat penting, karena berfungsi mengumpulkan bahan/alat bukti yang seringkali bersifat ilmiah. Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti sah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUH. Disamping itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri. Pencemaran lingkungan sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang sifatnya kimiawi.

3. Keperdataan
Mengenai hal ini perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan. Misalnya, penguasa dapat menetapkan persyaratan perlindungan lingkungan terhadap penjualan atau pemberian hak membuka tanah (erfpachti) atas sebidang tanah. Selain itu, terdapat kemungkinan “beracara singkat” (kortgeding) bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan uang paksa (injuction).[3]
Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3) UULH, baik melalui cara berperkaradi pengadilan maupun cara Tim Tripihak masih menemukan hambatan, sebagaimana telah diuraikan.


C. Penyelesaian Kasus Lingkungan

1. Jalur Musyawarah
Penyelesaian di luar pengadilan atau jalur musyawarah ini dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa, dimaksudkan penyelesaian kasus lingkungan tanpa melalui putusan pengadilan. Sistem penyelesaian kasus lingkungan melalui jalur musyawarah ini diprioritaskan untuk mengkaji pemanfaatan mediasi lingkungan (environmental mediation).
Di Amerika Serikat dan Kanada, demikian juga di Jepang, ternyata penyelesaian kasus lingkungan lebih mengutamakan penggunaan environmental mediation (mediasi lingkungan) dibanding dengan cara lainnya seperti konsiliasi atau arbitrasi. Pilihan dalam perundingan, hal apa sebaiknya yang dilakukan untuk mengakhiri sengketa dengan bantuan fasilitator (mediator).[4]
Dengan demikian karakteristik mediasi lingkungan ini pada prinsipnya adalah:
(1) kesukarelaan
(2) persetujuan
(3) prosesnya tidak mengikat

2. Jalur Pengadilan
Penyelesaian kasus lingkungan melalui proses pengadilan adalah cara terakhir yang dapat dilakukan setelah kesepakatan melalui jalur musyawarah tidak berhasil. Hal ini juga tercantum dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) UULH bahwa bilamana tim yang terdiri atas pihak penderita atau kuasanya, dan unsur pemerintah tidak mencapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan negeri. Keputusan hakim terutama dalam kasus pidana diharapkan akan sangat berpengaruh dalam rangka mengefektifkan sanksi, baik dalam fungsi preventif atau represif.

D. Kendala dan Hambatan dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Sejak dibentuknya KLH pada 1998 sudah banyak yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dalam penegakan hukum lingkungan namun pelaksanaan di lapangan masih banyak kendala dan hambatannya yang ditemui. Kendala  dan hambatan itu terletak pada beberapa faktor, yaitu:
1. Inkonsistensi Kebijakan;
Berbagai kebijakan operasional yang dikeluarkan seringkali tidak konsisten dengan prinsip-prinsip PLH yang terkandung di dalam UU No.23 Tahum 1997 maupun UU yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup lainnya.

2. Ambivalensi Kelembagaan;
Fungsi kelembagaan pengelolaan lingkungan bersifat ambivalen dalam wewenang dan pembagian tugas antara lembaga satu dengan lembaga lainnya.

3. Aparat Penegak Hukum;
4. Perizinan
Perizinan memang menjadi salah satu masalah yang lebih banyak memberi peluang bagi berkembangnya masalah lingkungan ketimbang membatasinya.



5. Sistem AMDAL;
Dalam praktiknya, AMDAL lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan ketentuan administratif daripada substansinya. Artinya pesatnya permintaan akan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit atau izin investasi.





























DAFTAR PUSTAKA

Erwin, Muhammad, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Palembang, 2007



[1] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 1996,hlm. 190.
[2] Siti Sundari Rangkuti, op.cit., hlm. 192
[3] Ibid., hlm. 194.
[4] Mohammad Asikin, op.cit., hlm. 37.

No comments:

Post a Comment