Tuesday 30 December 2014

Adoptie / Adopsi



ADOPTIE / ADOPSI

1.      Devinisi Adopsi
Pengertian dari adopsi secara etimologi dan terminologi
a.       Etimologi
Adopsi berasal dari kata ‘adoptie’ (Belanda) atau adopt (adoption) dari Inggris yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut tabbani yang menurut Muhammad Yunus diartikan sebagai mengambil anak angkat.
b.      Terminologi
Pengertian adopsi / adoptie secara terminologi adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai keturunannya sendiri, bedasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Selain itu pengertian anak angkat adalah seorang yang bukan keturunn suami istri, namun ia diambil, dipelihara, dan diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri.

2.      Istilah-istilah mengangkat anak di berbagai daerah di Indonesia
Ada berbagai macam istilah yang berbeda-beda tentang mengangkat anak di indonesia, seperti misalnya mupu anak di Cirebon, ngukut anak di Suku Sunda Jawa Barat, nyentanayang di Bali, angkat anak di Barak Karo, meki anak di Minahasa, ngukup anak di Suku Dayang Manyan, mulang jerai di Renjang, anak akon di Lombok Tengah, napuluku atau wengga di Kabupaten Pinai di Jayapura, dan anak pulung di Singaraja.

3.      Dasar hukum adopsi
Pengaturan mengenai adopsi atau pengankatan anak di Indonesia diatur dalam:
a.       Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengankatan Anak;
b.      Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
c.       Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahn 1979;
d.      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
e.       Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
f.       Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;
g.      Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
h.      Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; dan
i.        Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
4.      Alasan melakukan pengangkatan anak
Melakukan adopsi tidak serta merta dilakukan begitu saja tanpa alasan yang mendasari dari pengangkatan anak tersebut. Dalam mengangkat anak, biasanya ada beberapa alasan yang sering terjadi dalam masyarakat, diantaranya adalah:
a.       Ada beberapa kepercayaan yang masih kuat dalam masyarakat bahwa dengan cara mengangkat anak, maka dapat membuat orangb yang mengangkat anak tersebut memperoleh keturunan. Sehingga dapat dijelaskan dengan kata lain bahwa adopsi dilakukan sebagai pancingan untuk mendapatkan keturunan.
b.      Kemudian alasan kedua adalah berkaitan dengan kekhawatiran pasangan suami istri yang tidak memiliki keturunan akan punahnya garis keturunan mereka. Sehingga memutuskan untuk mengadopsi anak demi meneruskan garis keturunan.
c.       Alasan ekonomis juga dapat menjadi alasan bagi seseorang, dimana seorang keluarga atau pasangan suami istri yang tidak mampu memelihara dan mengasuh anaknya dikarenakan kekurangan ekonomi, maka ia meminta orang lain yang lebih mampu untuk memelihara anaknya dengan jalan adopsi.
Karena alasan peperangan, sehingga ada banyak anak yang terlantar tidak memiliki orang tua.

5.      Tujuan Adopsi
Tujuan dari adopsi terbagi menjadi dua, yaitu tujuan secara umum dan tujuan khusus.
a.       Tujuan Umum
Tujuan umum adopsi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak dalam arti luas, yaitu berusaha untuk membantu anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang menuju arah kehidupan yang harmonis yaitu kehidupan yang mengandung keamanan, ketentraman bagi anak baik jasmaniah  maupun rohaniah.

6. Pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia
a. Hukum Adat
            Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,Sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.
            Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.
-Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya

7. Akibat Hukum Pengangkatan Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Adapun akibat hukum pengangkatan anak menurut J. Satrio, bahwa anak itu mempunyai kedudukan seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya dari keluarga adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya. Tentang akibat hukum pengangkatan anak menurut Hukum Adat ini R. Soeroso, menyatakan: “Dengan demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai sifat-sifat yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia”. Bertitik tolak dari yang dikemukakan R. Soeroso tersebut dapat dikemukakan, bahwa sebagai akibat kebhinekaan kultural, perbedaan akibat hukum adopsi menurut Hukum Adat pun juga dimungkinkan terjadi. Dengan kalimat lain, akibat hukum adopsi yang menurut J. Satrio, melepas hubungan anak angkat dengan orang tua asalnya tersebut, belum tentu terjadi disemua didaerah hukum adat. Masih dimungkinkan terjadi akibat hukum yang tidak  menyebabkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua asalnya, bahwa di Bali perbuatan pengangkatan anak melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak angkat. Menurut J. Satrio ada tiga (3) akibat hukum dari pengangkatan anak, yaitu:
a. Memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya.
b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
1. Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan.
2. Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan.
3. Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan.
4. Mengenai pembuktian dengan saksi.
5. Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.
c. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Staatblad 1917 Nomor 129 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
a. Pasal 11 berbunyi: “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.
b. Pasal 12 ayat (1) berbunyi: “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi”. Konsekuensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orang tua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala konsekwensi lebih lanjut.





8. Kedudukan Anak Angkat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sebagaimana dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi tidak diatur dalam BW hanya pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian III Pasal 280 sampai dengan 289. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas. Dengan demikian, sebenarnya, BW tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang. Pengangkatan anak dalam istilah hukum perdata barat disebut adopsi. Sumber hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang memang tidak mengenal masalah adopsi. BW hanya mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 s/d Pasal 15 antara lain:
a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya.
b. Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiyat (Pasal 5).
c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain (Pasal 6).
d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri (Pasal 7 ayat (1)).
e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat.
f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 10).
g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)). Disamping itu, adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal.
h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak (Pasal 15 ayat (1)). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata (BW) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i. Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.

No comments:

Post a Comment