ADOPTIE
/ ADOPSI
1. Devinisi
Adopsi
Pengertian dari adopsi secara etimologi
dan terminologi
a. Etimologi
Adopsi berasal dari
kata ‘adoptie’ (Belanda) atau adopt (adoption) dari Inggris yang berarti
pengangkatan anak atau mengangkat anak. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut
tabbani yang menurut Muhammad Yunus diartikan sebagai mengambil anak angkat.
b. Terminologi
Pengertian adopsi /
adoptie secara terminologi adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain
untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai keturunannya sendiri, bedasarkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku
di masyarakat yang bersangkutan. Selain itu pengertian anak angkat adalah
seorang yang bukan keturunn suami istri, namun ia diambil, dipelihara, dan
diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri.
2. Istilah-istilah
mengangkat anak di berbagai daerah di Indonesia
Ada berbagai macam istilah yang
berbeda-beda tentang mengangkat anak di indonesia, seperti misalnya mupu anak di Cirebon, ngukut anak di Suku Sunda Jawa Barat, nyentanayang di Bali, angkat anak di Barak Karo, meki anak di Minahasa, ngukup anak di Suku Dayang Manyan, mulang jerai di Renjang, anak akon di Lombok Tengah, napuluku atau wengga di Kabupaten Pinai di Jayapura, dan anak pulung di Singaraja.
3. Dasar
hukum adopsi
Pengaturan mengenai adopsi atau
pengankatan anak di Indonesia diatur dalam:
a. Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengankatan Anak;
b. Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
c. Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2
Tahn 1979;
d. Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
e. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
f. Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;
g. Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
h. Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; dan
i.
Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia No.110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan
Anak.
4. Alasan
melakukan pengangkatan anak
Melakukan adopsi tidak serta merta
dilakukan begitu saja tanpa alasan yang mendasari dari pengangkatan anak
tersebut. Dalam mengangkat anak, biasanya ada beberapa alasan yang sering
terjadi dalam masyarakat, diantaranya adalah:
a. Ada
beberapa kepercayaan yang masih kuat dalam masyarakat bahwa dengan cara
mengangkat anak, maka dapat membuat orangb yang mengangkat anak tersebut
memperoleh keturunan. Sehingga dapat dijelaskan dengan kata lain bahwa adopsi
dilakukan sebagai pancingan untuk mendapatkan keturunan.
b. Kemudian
alasan kedua adalah berkaitan dengan kekhawatiran pasangan suami istri yang
tidak memiliki keturunan akan punahnya garis keturunan mereka. Sehingga
memutuskan untuk mengadopsi anak demi meneruskan garis keturunan.
c. Alasan
ekonomis juga dapat menjadi alasan bagi seseorang, dimana seorang keluarga atau
pasangan suami istri yang tidak mampu memelihara dan mengasuh anaknya
dikarenakan kekurangan ekonomi, maka ia meminta orang lain yang lebih mampu
untuk memelihara anaknya dengan jalan adopsi.
Karena alasan
peperangan, sehingga ada banyak anak yang terlantar tidak memiliki orang tua.
5. Tujuan
Adopsi
Tujuan dari adopsi terbagi menjadi dua,
yaitu tujuan secara umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan
Umum
Tujuan umum adopsi
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak dalam arti luas, yaitu berusaha
untuk membantu anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang menuju arah kehidupan
yang harmonis yaitu kehidupan yang mengandung keamanan, ketentraman bagi anak baik
jasmaniah maupun rohaniah.
6.
Pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia
a.
Hukum Adat
Sistem hukum Indonesia bersumber
pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,Sebagaimana
hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi secara tertulis,
tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu
bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut
“mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku
Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung
jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung
jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana
biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga
akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari kedua belah
pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua tempat yaitu
di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan
Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.
Prinsip
hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah
suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan
dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah
dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu
akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat
dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya
anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya
hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat.
Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti
kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang
dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.
Dilihat dari segi motivasi
pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon
orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang
tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya
yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian
menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan
ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.
-Islam
telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni
ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya
7. Akibat Hukum Pengangkatan Anak menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Adapun
akibat hukum pengangkatan anak menurut J. Satrio, bahwa anak itu mempunyai
kedudukan seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang
mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan
anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya dari keluarga adoptan,
tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.
Tentang
akibat hukum pengangkatan anak menurut Hukum Adat ini R. Soeroso, menyatakan:
“Dengan
demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai sifat-sifat
yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun karakteristik masing-masing
daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia”. Bertitik
tolak dari yang dikemukakan R. Soeroso tersebut dapat dikemukakan, bahwa
sebagai akibat kebhinekaan kultural, perbedaan akibat hukum adopsi menurut
Hukum Adat pun juga dimungkinkan terjadi. Dengan kalimat lain, akibat hukum
adopsi yang menurut J. Satrio, melepas hubungan anak angkat dengan orang tua
asalnya tersebut, belum tentu terjadi disemua didaerah hukum adat. Masih
dimungkinkan terjadi akibat hukum yang tidak
menyebabkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua
asalnya, bahwa di Bali perbuatan pengangkatan anak melepaskan anak itu dari
pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke
dalam keluarga pihak bapak angkat. Menurut J. Satrio ada tiga (3) akibat hukum
dari pengangkatan anak, yaitu:
a. Memberikan
ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama
dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya.
b. Adopsi
menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
1.
Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan.
2.
Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan.
3.
Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan.
4.
Mengenai pembuktian dengan saksi.
5.
Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.
c. Oleh karena
akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya
menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: Anak angkat
tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris
dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Staatblad 1917 Nomor 129
menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai
berikut:
a.
Pasal 11 berbunyi: “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari
orang yang mengadopsi”.
b.
Pasal 12 ayat (1) berbunyi: “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan
dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari
orang yang mengadopsi”. Konsekuensinya anak angkat menjadi ahli waris dari
orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap
dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orang tua
yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala
konsekwensi lebih lanjut.
8. Kedudukan Anak Angkat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagaimana
dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi tidak diatur dalam BW hanya pengakuan anak
luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian III Pasal 280
sampai dengan 289. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di
masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan
anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas. Dengan
demikian, sebenarnya, BW tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana
dikenal sekarang. Pengangkatan anak dalam istilah hukum perdata barat disebut
adopsi. Sumber hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29
Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang memang tidak
mengenal masalah adopsi. BW hanya mengatur masalah adopsi atau pengangkatan
anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam
ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.
Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor
129 Tahun 1917 Pasal 5 s/d Pasal 15 antara lain:
a. Suami istri
atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki
baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang
demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya.
b. Seorang janda
(cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas
suaminya dengan suatu wasiyat (Pasal 5).
c. Yang boleh
diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak
dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain (Pasal 6).
d. Usia yang
diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari
istri (Pasal 7 ayat (1)).
e. Adopsi harus
dilakukan atas kata sepakat.
f. Pengangkatan
anak harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 10).
g. Pengangkatan
terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik
batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)). Disamping itu, adopsi atas tuntutan oleh
pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal.
h. Suatu adopsi
tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak (Pasal 15 ayat (1)). Pasal
tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata
(BW) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat
dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i. Secara
yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara kultural
motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat meneruskan
keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat
memperoleh keturunan laki-laki.
No comments:
Post a Comment