Tuesday 2 August 2016

Contoh Analisis Kasus Pelanggaran Kode Etik



A.   PELAKU PELANGGARAN KODE ETIK
Pelaku pelanggaran kode etik dalam kasus ini adalah mantan hakim Setyabudi Tedjocahyono.
B.   IDENTITAS PELAKU
Nama          : SETYABUDI TEJOCAHYON, S.H.,M.Hum
Tgl Lahir     : Kediri, 14 Januari 1957
Jabatan      : Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung
Golongan    : IV/C
Karier          :
-      Hakim PN Semarang 2006-2010
-      WAKA PN Tanjung Pinang mulai 12 Januari 2010
-      KPN Tanjung Pinang mulai 13 Juli 2010
-      WAKA PN Bandung sejak 12 Maret 2012
-      Hakim Tinggi PT Padang hasil TPM 19 Februari 2013

C.   KRONOLOGI PELANGGARAN KODE ETIK
Penangkapan wakil ketua pengadilan negeri bandung Setyabudi Tejocahyono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 22 Maret 2013. Penangkapan itu bermula dari informasi Mahkamah Agung dan masyarakat. MA curiga Setyabudi bermain dalam kasus sebelumnya. Lembaga tersebut mulai mengamatinya saat menangani kasus dana bansos yang membelit para tujuh pegawai pemkot tersebut. Kemudian MA menginformasikannya pada KPK, KPK pun melakukan pengembangan.
Adapun kronologis penyuapan dan rekayasa hukuman kasus suap Bansos Pemkot Bandung tahun anggaran 2009 2010 sebagai berikut:
1.   Sekitar Mei 2012 terdakwa bertemu Toto Hutagalung di PN Bandung dan meminta dana Rp 3 miliar untuk meringankan hukuman 7 terdakwa kasus Bansos dan tidak akan melibatkan Dada Rosada, Edi Siswadi dan Herry Nurhayat dan disuruh melunasi kerugian Negara. Setelah diberitahukan kepada Dada, Edi siswadi kemudian memberikan USD 100 ribu kepada Toto.
2.   4 Mei 2012 terdakwa bersama Ramlan Comel mendatangi rumah toto dan menerima uang USD 80 ribu dolar dalam tiga amplop untuk dibagikan kepada kepala PN Bandung Singgih Budi Prakoso, Wakil Panitera PN Bandung Rina Pratiwi dan satu amplop lagi untuk ketiga majelis hakim (Setyabudi, Ramlan Comel dan Djojo Djauhari
3.   16 Mei 2012 terdakwa bersama Ramlan Comel, Djojo Djauhari mengeluarkan penetapan tahanan kota untuk lima terdakwa, yakni Yanos, Luthfan, Firman, Uu, dan Rochman.
4.   23 Juli, JPU melimpahkan dua kasus terdakwa bansos lainnya atas nama Hafidz Kurnia dan Ahmad Mulyana. Kemudian Singgih Budi Prakoso menetapkan terdakwa dengan dua hakim anggota yang sama sebagai majelisnya.
5.   3 Agustus 2012 terdakwa dan dua hakim anggota mengabulkan permohonan penahanan kota untuk Hafidz dan Ahmad. Setelah semua tahanan kota terkabulkan kemudian meminta dana Rp 500 juta dan dibagi-bagi kepada Singgih Budi Prakoso, terdakwa, Ramlan Comel dan Djojo Djauhari.
6.   Terdakwa dengan tujuan untuk meringankan hukuman dan tidak melibatkan Dada, Edi dan Herry kembali meminta uang dari Juli 2012 hingga Januari 2013 dengan rincian sebagai berikut : Uang USD 40 ribu diterima di depan kantor Jefri Sinaga, uang Rp 500 juta diterima di grand Serela, uang Rp 300 juta diterima di villa Ujungberung, uang USD 40 ribu diterima di Kantor PN Bandung, uang Rp 200 juta diterima di Caffe Shop, uang Rp 300 juta sebanyak dua kali diterima di Rumdin terdakwa, uang Rp 200 juta diterima di Cafe Bali dan uang Rp 10juta diterima terdakwa untuk tiket ke Bali. 7.
Selain uang terdakwa juga menerima perabotan untuk rumah dinas seperti televisi, kursi dan kulkas. Serta meminta fasilitas hiburan di Venetian Spa, Launge and Karaoke di Pasirkaliki.

D.  ANALISIS KASUS
Dalam kasus ini terjadi sebuah pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setyabudi Tejocahyono, ia adalah seorang wakil ketua hakim pengadilan negeri bandung. Kode etik yang telah ia langgar adalah tindak pidana korupsi yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang hakim. Hakim ketua Nur hakim menjatuhkan pidana kepada Setyabudi Tejocahyono diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf A, Pasal 12 huruf C dan Pasal 12 huruf A UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbarui dalam UU No. 20 tahun 2001 memvonis 12 Tahun penjara dalam kasus dugaan suap dana Bantuan Sosial (Bansos) Kota Bandung, dan juga didenda Rp 200 Juta dan Subsider 3 bulan.
Kemudian setyabudi tejocahyono dinilai tidak peka terhadap tindakan korupsi yang dilakukannya, padahal terdakwa adalah seorang penegak hokum namun tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Semua itu dianggap bertentangan dengan kode etik dan perilaku hakim.
Tidak hanya menerima uang, terdakwa juga menerima dan meminta beberapa fasilitas seperti perabotan untuk di rumah dinas, serta fasilitas hiburan di Venetian Spa launge and karaoke di Paskal Hypersquare Bandung.

E.   KESIMPULAN DAN SARAN
1.   Kesimpulan
Setyabudi Tejocahyono merupakan wakil hakim Pengadilan Negeri Bandung yang melanggar kode etik seorang hakim, dengan ia menerima suap atas kasus Bansos Kota Bandung akhirnya ia di pecat dan dihukum penjara selama 12 tahun dan membayar denda 200 Juta.
2.   Saran
Semua profesi khususnya hakim memiliki etika dan peraturannya masing-masing, jangan mudah tergiur oleh harta yang bisa merubah hakikat manusia. Tanamkan kebaikan dalam diri karna itu adalah dapat melawan kejahatan.

F.   KASUS POSISI
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Mantan wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung yang juga sempat menjadi hakim Tipikor, Setyabudi Tejocahyono, kini menjadi terdakwa kasus korupsi. Bahkan sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut, Setyabudi terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup jika terbukti menerima suap dalam penanganan sidang Tipikor Penyimpangan Dana Bansos Kota Bandung TA 2009-2010.
Hal itu dikatakan jaksa penuntut umum dari KPK, Ali Fikri SH MKn, kepada wartawan seusai persidangan perdananya yang mengagendakan pembacaan dakwaan di luar ruang sidang Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (15/8/2013). "Hukumannya bisa seumur hidup atau penjara 20 tahun karena pasal yang didakwakan berlapis," kata Ali.
Ali menuturkan, Setyabudi didakwa dengan pasal berlapis, yakni tiga dakwaan primer ditambah dengan beberapa dakwaan subsider. Terdakwa bersama dengan hakim anggotanya H Ramlan Comel dan Djodjo Djohari pada bulan April 2012 hingga Januari 2013 menerima uang suap Rp 1.810.000.000 dari Wali Kota Bandung Dada Rosada, Sekda Kota Bandung dan Edi Siswadi dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Bandung H Herry Nurhayat. Selain itu, terdakwa menerima 160 ribu dolar AS, dan barang perabotan rumah serta fasilitas hiburan di Venetian Spa Launge & Karaoke di Pasirkaliki. "Uang tersebut diserahkan ke terdakwa melalui Toto Hutagalung dan Asep Triana," ujar Ali.
Pemberian uang suap untuk terdakwa yang diberikan oleh Dada Rosada, Edi Siswadi, dan Herry Nurhayat melalui Toto Hutagalung ditujukan agar terdakwa menjadikan putusan kasus tipikor penyimpangan bansos Kota Bandung TA 2009-2010 tidak mengaitkan dengan nama Dada Rosada, Edi Siswadi, dan Herry Nurhayat serta memberikan hukuman yang ringan kepada terdakwa Rochman, Firman Himawan, Luthfan Barkah, Yanos Septiadi, Uus Ruslan, Havid Kurnia, dan Ahmad Mulyana. Pada putusannya ketika itu, terdakwa memutuskan hukuman masing-masing 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta atau diganti hukuman penjara 1 bulan, lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Sesuai dengan fakta pembacaan dakwaan terungkap bahwa awalnya terdakwa minta Rp 3 miliar kepada Toto Hutagalung setelah Toto beberapa kali bertemu dan mengenalkan diri sebagai orang kepercayaan Dada yang ingin meminta kemudahan proses hukuman para terdakwa kasus penyimpangan bansos. Terdakwa juga menyampaikan putusan di PN Bandung akan diatur oleh Ketua PN Bandung Singgih Budi Prakoso, dan putusan di PT Bandung akan diatur oleh Ketua PT Bandung Sareh Wiyono. Ia juga minta Pemkot Bandung membayar kerugian negara sesuai hasil penghitungan BPKP, sebesar Rp 9.440.225.000.
Toto menyampaikan permintaan itu kepada Dada Rosada dan Edi Siswadi. Lalu Dada minta Edi dan Herry untuk memenuhi permintaan itu melalui Toto. Dada juga minta Edi dan Herry untuk mengumpulkan para SKPD agar memberikan sejumlah uang guna pelunasan kerugian keuangan negara.
Uang itu diberikan kepada terdakwa secara bertahap. Pertama Edi memberikan 100 ribu dolar AS melalui Toto. Toto menyerahkan 80 ribu dolar kepada terdakwa di rumah Toto. Uang itu diberikan dalam tiga amplop masing-masing untuk Singgih Budi Prakoso sebagai Ketua PN Bandung, Rina Pratiwi selaku Wakil Panitera PN Bandung, dan satu amplop untuk majelis hakim yakni terdakwa, Ramlan Comel dan Djojo Djohari. Untuk sisa uang pelunasannya, terdakwa mengeluarkan penetapan penitipan uang yang akan dikembalikan ke rekening Rumah Penitipan Barang Rampasan dan Sitaan (Rupbasan).
Selain itu, kata Ali, saat proses persidangannya, terdakwa yang menjadi ketua majelis hakim tipikor juga menerima hadiah dari Dada, Rp 500 juta untuk perubahan status tahanan ketujuh terdakwa dari tahanan penjara di rumah tahanan menjadi tahanan kota. Bahkan terdakwa juga melalui Toto Hutagalung dan Asep Triana menerima 40 ribu dolar AS di depan kantor Jefri Sinaga, Rp 500 juta di Hotel Grand Serella, Rp 300 juta di Villa Ujungberung, 40 ribu dolar AS di kantor PN Bandung, Rp 200 juta di Coffee Shop, Rp 300 juta di rumdin wakil ketua PN, Rp 300 juta, Rp 200 juta di kafe Bali, dan Rp 10 juta untuk pembelian tiket pesawat.
Setyabudi langsung menyela jalannya persidangan kepada majelis hakim sebelum dakwaan dibacakan jaksa penuntut umum. Setyabudi meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan yang akan dibacakan jaksa tidak seluruhnya atau tidak detail. Permintaan itu diajukan Setyabudi, dengan alasan ia dan penasihat hukumnya sudah menerima surat dakwaannya. Namun majelis hakim yang diketuai Nur Hakim SH meminta Setyabudi mengulang apa yang dikatakannya karena kurang jelas.
Atas permintaan itu, Nur Hakim mengatakan bahwa dibacakan seluruhnya atau sebagian dakwaan, itu adalah hak JPU. Namun sesuai dengan prinsip persidangan itu terbuka sehingga perlu adanya keterbukaan kepada publik.

No comments:

Post a Comment