PERJANJIAN
PERDAMAIAN
A.
PENGERTIAN
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perata. Perdamaian adalah suatu
persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang, kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara
yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal
1851 KUH Perdata). Definisi lain dari perdamaian adalah:
“ Persetujuan
dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu
perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu sengketa.”
(Art.1888 NBW)
Jadi, dalam
perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian tuntutan mereka
dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut perjanjian
“formal” dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat menurut suatu
formalitas tertentu.
Oleh arena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara. Tidak
ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah seluruhnya
dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya.
Begitu juga tidak ada perdamaian jika kedua belah pihak menyerahkan
penyelesaian perkara pada arbitrase (pemisah) atau tunduk pada nasihat dari
pihak ke-3 (binded advies)
B.
UNSUR DAN SYARAT PERDAMAIAN
Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam KUH
Perdata pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut 4 unsur, yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama “ menyetujui” dan
suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah
pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam
pasal1320 KUH Perdata :
a. Adanya kata sepakat secara suka rela
(toestemming)
b. Kedua belah pihak cukup membuat
persetujuan (bekwamheid)
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok
yang tertentu (bepaalde onderwerp)
d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan
(geoorlosfde oorzaah)
Oleh karena itu dalam suatu
persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap unsur, seperti :
a.
Kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
b.
Paksaan (dwang)
c.
Penipuan (bedrog)
Sedangkan dalam pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat dibatalkan jika terjadi
kekhilafan:
a.
Mengenai orangnya
b.
Mengenai pokok yang diperselisihkan.
Kemudian dalam pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalahpahaman perdamaian,
seperti :
a.
Kesalahpahaman tentang duduknya perkara
b.
Kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.
2. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri
sengketa.
Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang sedang
terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan
seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah
dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian yang
bersangkutan.
3. Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang dalam bentuk tertulis.
Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus bersifat
tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan perjanjian
perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat bukti bagi para
pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan
perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian, yakni
:
a. Putusan perdamaian
b. Akta perdamaian.
4. Sengketa tersebut sedang diperiksa atau
untuk mencegah timbulnya suatu perkara (sengketa).
Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa, karena
menurut pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu:
a. Sudah berwujud sengketa perkara di
pengadilan.
b. Sudah nyata wujud dari persengketaan
perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh
para pihak mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.
C.
SUBJEK DAN OBJEK PERDAMAIAN.
1. Orang yang berwenang mengadakan
perdamaian.
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perdamaian, namun dalam pasal 1852
KUH Perdata telah ditentukan orang yang berwenang untuk melepaskan hak-haknya
atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian. Sedangkan orang yang tidak
berwenang untuk melakukannya adalah:
a. Para wali dan pengampu, kecuali jika
mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam
buku kesatu KUH Perdata.
b. Kepala-kepala daerah dan kepala
lembaga-lembaga hukum.
2. Objek perdamaian.
Objek perjanjian perdamaian diatur dalam pasal 1853 KUH Perdata. Objek
perjanjian perdamaian adalah:
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai
kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran.
Dalam hal ini perdamaian sekali-kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk
menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan.
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal
yang tercantum di dalamnya, sedangkan pelepasan segala hak dan
tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab
perdamaian tersebut.
D.
AKIBAT HUKUM
1 Mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Jika perdamaian telah diputuskan, maka putusan itu disamakan seperti putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sebagaimana tercantum
dalam pasal 1858 ayat 1 dan pasal 130 ayat 2 KUH Perdata.
2 Tertutup upaya banding dan
kasasi.
Akibat hukum yang kedua adalah tertutupnya upaya hukum, baik banding ataupun
kasasi. Suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak
bisa tidak dapat banding atau kasasi. Ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 130
ayat 2 HIR bahwa perdamaian (putusan perdamaian) tidak diizinkan banding tidak
diizinkan banding, yang artinya sejak awal keputusan perdamaian tidak diperoleh
mengajukan permintaan banding. Sebab saat putusan perdamaian terwujud, sudah
melekat pada putusan perdamaian nilai kekuatan hukum seperti putusan yang sudah
mendapat kekuatan hukum tetap.
3 Mempunyai kekuatan eksekusi.
Adapun akibat hukum yang ketiga adalah kekuatan hukum yang mengikat dan
mempunyai kekuatan mengeksekusi. Sehingga jika para pihak ingin membatalkan
perdamaian secara sepihak, maka kedua belah pihak harus menaati dan
melaksanakan sepenuhnya isi yang tercantum dalam putusan perdamaian. Dengan
demikian terhadap putusan perdamaian berlaku ketentuan pasal 1339 dan pasal
1348 KUH Perdata.
Para pihak harus menaati dan memenuhi isi putusan perdamaian tidak hanya
menurut bunyi rumusnya, tetapi juga dari segi tujuan, segi sifat perdamaian itu
sendiri dan juga menurut kepatutan serta kebiasaan. Sehingga pentaatan putusan
perdamaian harus sesuai dengan yang diputuskan MA tanggal 9 November 1976 No.
1245 k/SIP/1974 yang berbunyi: “pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran
suatu perjanjian tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan
serta tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian ”
Dalam hal ini tidak saja kekuatan hukum mengikat yang melekat pada peraturan
perdamaian, akan tetapi melekat juga di dalamnya kekuatan hukum eksekutorial,
hal ini berarti jika salah satu pihak enggan isi persetujuan perdamaian
“secara suka rela” maka pihak yang lain dapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada pengadilan negeri, agar pihak yang ingkar tadi dapat dipaksa memenuhi
isi putusan perdamaian. Dan jika perlu dapat meminta bantuan kekuasaan hukum (kepolisian
Jelasnya semua ketentuan eksekusi terhadap putusan peradilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan
perdamaian. Apabila keputusan perdamaian itu mengandung eksekusi riil yang
diatur dalam pasal 200 ayat 11 HIR atau pasal 1033 RV, berlaku sepenuhnya dalam
kasus eksekusi putusan perdamaian. Selanjutnya jika dalam putusan perdamaian
berupa eksekusi pembayaran uang, berlaku sepenuhnya eksekusi yang diatur dalam
pasal 195 sampai dengan pasal 200 HIR. Dan apabila eksekusinya mengandung
pelaksanaan suatu perbuatan (untuk melaksanakan sesuatu) berlaku sepenuhnya
ketentuan eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR.
Dengan demikian penataan dan pemenuhan putusan perdamaian sama halnya dengan
penataan dan pemenuhan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum,
yakni:
1) Penataan dan pemenuhannya dapat dilakukan
secara suka rela.
2) Penataan dan pemenuhannya dapat dipaksakan
melalui eksekusi, jika salah satu pihak enggan menaati dan memenuhinya secara
suka rela.
Jadi pada
prinsipnya putusan perdamaian memperpendek dan mempersingkat proses
penyelesaian perselisihan di antara pihak yang berselisih.
E. PERSEPEKTIF HUKUM DALAM PERJANJIAN
PERDAMAIAN.
Berkenaan dengan perjanjian perdamaian ini, maka bisa dikatakan bahwasanya
bentuk perjanjian masih berlaku sampai sekarang, dikarenakan tujuan dari
perjanjian ini adalah mencegah terjadinya sengketa dan masih terus bisa
dilangsungkan ke dalam bentuk hukum acara perdata. Perjanjian perdamaian juga
berhubungan erat dengan arbitrase (perwasitan).
Tujuan perjanjian perdamaian adalah untuk menghentikan suatu perkara yang
sedang diperiksa di pengadilan. Perjanjian perdamaian dikatakan sah apabila
perjanjian tersebut dilakukan di pengadilan dan tidak sah bila dilakukan selain
di pengadilan.
Salim, HUKUM KONTRAK: Teori dan Teknik Penyusunan.2008,
cetakan ke-8, Jakarta: SINAR GRAGIKA. Hal. 92
R. Subekti, ANEKA PERJANJIAN. 1995, Bandung : PT.
CITRA ADITYA BAKTI. Hal. 177
Victor M.
Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata. 1993.
Jakarta: Rineka Cipta Hal. 3
No comments:
Post a Comment