Friday, 18 April 2014

Perlindungan Hak Asasi Manusia Sebagai Prinsip Berdirinya Negara Hukum






Perlindungan Hak Asasi Manusia Sebagai Prinsip Berdirinya Negara Hukum


Kelompok 2 Hukum Tata Negara (E)
Faisal Sugangga                     135010100111145
Arini Ulfa Mawaddaty           135010100111148
Muhammad Dita Fatoni         135010112111001
Sri Andini                                135010101111174
    Muhammad Avicena Mugi       135010101111183


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

A.      Latar Belakang Masalah
Prinsip menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar, asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir).  Negara menurut KBBI adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Lalu hukum menurut S.M. Amin, SH dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum” dapat dirumuskan sebagai berikut: “Kumpulan-kumpulan peraturan-aturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”. Menurut Jimly Ashshiddiqie, prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Dari semua hal diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip negara hukum adalah dasar-dasar atau asas-asas yang menjadi pokok dasar berpikir dalam sebuah negara hukum yang menjadi pilar utama agar sebuah negara dapat berdiri tegak dan menjadi negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Negara Indonesia?

Para Sarjana Eropa Kontinental yang diwakili oleh Julius Stahl menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
1.      Perlindungan hak asasi manusia;
2.      Pembagian kekuasaan;
3.      Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4.      Peradilan Tata Usaha Negara.
Jika kita perhatikan, Indonesia adalah sebuah negara yang sudah berdiri cukup lama, perjuangan para pahlawan yang berhasil mengusir para penjajah dari bumi Indonesia kita inilah yang membuat kita bisa hidup nyaman seperti sekarang ini. Sebagai mahasiswa, bisa dikatakan kita adalah orang-orang terpilih yang bisa dibilang sangat beruntung tapi nyatanya diluar sana masih banyak rakyat miskin yang kekurangan dan tidak bisa menuntut ilmu, untuk mencari makan saja mereka bersusah payah. Selain itu, para wakil rakyat sekarang ini sudah tidak bisa dipercaya, banyak sekali wakil rakyat yang dipercaya oleh rakyatnya sendiri tetapi berkhianat dengan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan mereka pribadi.
Koordinator Komisi untuk orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, mengatakan sepanjang Januari-November 2013, telah terjadi 709 kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian.  Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 448 kasus. Sementara pada 2011, angka pelanggaran HAM 112 kasus[[1]]. Menurut Haris, penyebab terjadinya peningkatan kasus pelanggaran HAM adalah pembiaran yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Haris beranggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah menindak tegas atau minimal meminta institusi pelanggar HAM untuk mengevaluasi diri.
Jika melihat hal-hal diatas, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah kehilangan salah satu penyangga negara hukum, yaitu perlindungan HAM. Oleh karena itu kami kelompok dua kelas E mata kuliah Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tertarik untuk menulis sebuah makalah yang berjudul “Perlindungan Hak Asasi Manusia Sebagai Prinsip Berdirinya Negara Hukum”
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  peran pemerintah terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagai salah satu Negara Hukum?
2.      Bagaimana peran Komnas HAM terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3.      Apakah Negara Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai Negara Hukum yang sebagaimana mestinya?





C.     Kajian Pustaka

1. Konsepsi Negara Hukum
Pemikiran tentang Negara hukum telah muncul sebelum terjadinya Revolusi 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada Abad XVII dan mulai popular pada Abad XIX. Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu unsure-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat suatu bangsa.
Sejarah timbulnya pemikiran atau cita Negara hukum itu sendiri sebenarnya sudah sanga tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan. Cita Negara hukum itu untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.
Dalam bukunya Nomoi, plato mulai memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Cita plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Bagi Aristotles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersikap adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “Negara hukum”, krena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berasarkan atas keadilan. Jadi keadilanlah yag memerintah dalam kehidupan bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, maka manusia haus dididik menjadi warga Negara yang baik dan bersusila.
Meskipun cita Negara hukum telah lahir sekian abad yang lalu, tetapi untuk mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga saat ini bukanlah persoalan yang mudah.
Dalam perkembangannya, terdapat korelasi yang jelas antara Negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui system demokrasi. Dalam system demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari system ini. Dengan kata lain, Negara harus ditopang dengan system demokrasi. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Demokrai merupakan cara paling aman untuk mempertahankan control atas Negara hukum.
Dalam kajin historis, perkembangan tipe Negara hukum mebawa konsekuensi terhadap peranan hukum administrasi Negara. Semakin sedikit campur tangan Negara dalam kehidupan mayarakat akan semakin kecil pula peranan hukum administrasi Negara didalamnya. Sebaliknya dengan semakin intensifnya campur tangan Negara akan semakin besar pula peranan hukum administrasi Negara.

2.      Teori Negara Hukum
Teori Negara Hukum diawali dengan pemikiran yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan Negara dimaksud hanya dapat tercapai jika pemerintah Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan tugasnya yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia dan yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, agar supaya terwujud suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi Negara Indonesia yanag system hukumnya berasal dari keluarga hokum “civil law” istilah “Negara hokum” yang dipergunakan merupakan terjemahan langsung dari “rechtsstaat”, namun demikian istilah “the rule of law” popular juga digunakan untuk pengertian Negara hukum, mungkin akibat pengaruh Sistem hukum “common law”.
Beberapa pendapat para pakar di Indonesia menggunakan istilah Negara hukum sama dengan “the rule pf law”, di antaranya Sunaryati Hartono menggunakan istilah tersebut. Oleh sebab itu, agar terciptanya suatu Negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan “the rule of law” itu harus dalam arti materiil.
Selain penggunaan istilah Negara hukum “the rule of law” di atas, Muhammad Yamin menggunakan istilah lain mengenai Negara hukum, yaitu menggunakan istilah “rechtsstaat atau government of law”. Istilah “government of law” digunakan di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dipakai istilah “the rule of law”. Konsep ini diperkenalkan oleh A.V. Dicey pada tahun 1885 dengan karya berjudul “Introduction to Study of the Law of the Constitution”.
Istilah Negara hukum juga dikenal di Negara Islam dengan istilah “nomokrasi”, yaitu suatu Negara hukum yang memiliki prinsip kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, perdamaian, perdamaian, peradilan bebas, kesejahteraan, dan ketaatan rakyat.
Berdasarkan uraian diatas mengandung maksut bahwa suatu Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa harus memiliki dasar hukum yang jelas atau ada legilitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tiak tertulis. Keabsahan Negara untuk memerintah, karena Negara merupakan Negara yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum.
Sri Soemantri mengatakan bahwa di dalam suatu Negara hukum, maka di dalamnya mengandung unsure-unsur terpenting antara lain sebagai berikut:
a.                Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan;
b.               Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga Negara);
c.                Adanya pembagian kekuasaan (“distribution of power”) dalam Negara;
d.               Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (“rechterlijke controle”)
Di Eropa Kontinental timbulnya pemikiran tentang Negara hukum adalah sebagai akibat dari adanya system pemerintahan yang absolutisme. Pada masa itu kekuasaan absolute berlaku di seluruh Eropa, misalnya masa Louis XIV di Prancis terkenal dengan ungkapan “L’etat c’est moi” (Negara adalah aku). Kekuasaan absolute tidak hanya berlaku di Prancis, tetapi juga berlaku di negeri Belanda dibawah Raja Philip II. Cirri Negara hukum pada masa itu dilukiskan sebagai “Negara penjaga malam” (“nachtwakersstaat”), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan keamanan (“de openbare orde en veiligheid”).

3.      Prinsip Negara Hukum
Para Sarjana Eropa Kontinental yang diwakili oleh Julius Stahl menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
a.         Perlindungan hak asasi manusia;
b.         Pembagian kekuasaan;
c.         Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d.         Peradilan Tata Usaha Negara.
Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1.   Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.   Prinsip musyawarah;
3.   Prinsip keadilan;
4.   Prinsip persamaan;
5.   Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6.   Prinsip peradilan yang bebas;
7.   Prinsip perdamaian;
8.   Prinsip kesejahteraan;
9.   Prinsip ketaatan rakyat.


            Jimly Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan menggabungkan pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana Eropa Kontinental. Menurutnya dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya, harus memuat dua belas prinsip. Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern.
1.      Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2.      Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3.      Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4.      Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5.      Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.
6.      Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7.      Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8.      Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

9.      Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. 
10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.
12.  Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13.  Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
D.     Pembahasan
Menurut pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dengan adanya UU yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah berperan dalam perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Disisi lain, Indonesia memiliki lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau biasa disebut dengan Komnas HAM[[2]]
Komnas HAM sendiri memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2.      Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan

Dengan demikian, Komnas HAM berperan dalam mengawasi agar kebijakan yang dijanjikan oleh pemerintah tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Namun pada kenyataannya menurut Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), menyatakan bahwa di tahun 2013 kasus pelanggaran terhadap HAM oleh aparat kepolisian yang semakin meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Aparat Kepolisian seharusnya dapat menjadi pelindung bagi rakyat sebuah negara bukan sebaliknya. Lalu jika kita melihat kebelakang, masih banyak lagi contoh kasus pelanggaran HAM, seperti kerusuhan mei 1998, tragedi sampang dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum yang kehilangan satu penyangga dikarenakan perlindungan terhadap HAM tidak berjalan sebagaimana mestinya.

No comments:

Post a Comment