Perlindungan Hak Asasi Manusia
Sebagai Prinsip Berdirinya Negara Hukum
Kelompok 2 Hukum
Tata Negara (E)
Faisal
Sugangga 135010100111145
Arini
Ulfa Mawaddaty 135010100111148
Muhammad
Dita Fatoni 135010112111001
Sri
Andini 135010101111174
Muhammad Avicena Mugi 135010101111183
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA MALANG
A.
Latar
Belakang Masalah
Prinsip
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar, asas atau kebenaran
yang menjadi pokok dasar berpikir).
Negara menurut KBBI adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau kelompok sosial yang
menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga
politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Lalu hukum menurut S.M. Amin, SH
dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum” dapat dirumuskan sebagai
berikut: “Kumpulan-kumpulan peraturan-aturan yang terdiri dari norma dan
sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan
ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara”. Menurut Jimly Ashshiddiqie, prinsip pokok negara hukum yang
berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti
yang sebenarnya. Dari semua hal diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan prinsip negara hukum adalah dasar-dasar atau asas-asas yang menjadi
pokok dasar berpikir dalam sebuah negara hukum yang menjadi pilar utama agar
sebuah negara dapat berdiri tegak dan menjadi negara hukum dalam arti yang
sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Negara Indonesia?
Para
Sarjana Eropa Kontinental yang diwakili oleh Julius Stahl menuliskan prinsip
negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
1.
Perlindungan hak asasi manusia;
2.
Pembagian kekuasaan;
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Jika
kita perhatikan, Indonesia adalah sebuah negara yang sudah berdiri cukup lama,
perjuangan para pahlawan yang berhasil mengusir para penjajah dari bumi
Indonesia kita inilah yang membuat kita bisa hidup nyaman seperti sekarang ini.
Sebagai mahasiswa, bisa dikatakan kita adalah orang-orang terpilih yang bisa dibilang
sangat beruntung tapi nyatanya diluar sana masih banyak rakyat miskin yang
kekurangan dan tidak bisa menuntut ilmu, untuk mencari makan saja mereka
bersusah payah. Selain itu, para wakil rakyat sekarang ini sudah tidak bisa
dipercaya, banyak sekali wakil rakyat yang dipercaya oleh rakyatnya sendiri
tetapi berkhianat dengan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan mereka
pribadi.
Koordinator
Komisi untuk orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Haris Azhar,
mengatakan sepanjang Januari-November 2013, telah terjadi 709 kasus dugaan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya
yang berjumlah 448 kasus. Sementara pada 2011, angka pelanggaran HAM 112 kasus[[1]].
Menurut Haris, penyebab terjadinya peningkatan kasus pelanggaran HAM adalah
pembiaran yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Haris
beranggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah menindak tegas
atau minimal meminta institusi pelanggar HAM untuk mengevaluasi diri.
Jika
melihat hal-hal diatas, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah kehilangan salah
satu penyangga negara hukum, yaitu perlindungan HAM. Oleh karena itu kami
kelompok dua kelas E mata kuliah Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya tertarik untuk menulis sebuah makalah yang berjudul “Perlindungan Hak
Asasi Manusia Sebagai Prinsip Berdirinya Negara Hukum”
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana peran pemerintah terhadap perlindungan Hak
Asasi Manusia di Indonesia sebagai salah satu Negara Hukum?
2. Bagaimana
peran Komnas HAM terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3. Apakah
Negara Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai Negara Hukum yang sebagaimana
mestinya?
C.
Kajian
Pustaka
1. Konsepsi Negara Hukum
Pemikiran
tentang Negara hukum telah muncul sebelum terjadinya Revolusi 1688 di Inggris,
tetapi baru muncul kembali pada Abad XVII dan mulai popular pada Abad XIX.
Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap
kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu unsure-unsur negara hukum
mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat suatu
bangsa.
Sejarah
timbulnya pemikiran atau cita Negara hukum itu sendiri sebenarnya sudah sanga
tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan. Cita Negara
hukum itu untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran
tersebut dipertegas oleh Aristoteles.
Dalam
bukunya Nomoi, plato mulai memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada
hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur
oleh hukum. Cita plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama
Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah yang diperintah
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Bagi
Aristotles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran
yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia
perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan
menjelmakan manusia yang bersikap adil. Apabila keadaan semacam itu telah
terwujud, maka terciptalah suatu “Negara hukum”, krena tujuan Negara adalah
kesempurnaan warganya yang berasarkan atas keadilan. Jadi keadilanlah yag
memerintah dalam kehidupan bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat
terjelma dalam kehidupan bernegara, maka manusia haus dididik menjadi warga
Negara yang baik dan bersusila.
Meskipun
cita Negara hukum telah lahir sekian abad yang lalu, tetapi untuk mewujudkannya
dalam kehidupan bernegara hingga saat ini bukanlah persoalan yang mudah.
Dalam
perkembangannya, terdapat korelasi yang jelas antara Negara hukum yang bertumpu
pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui system
demokrasi. Dalam system demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari
system ini. Dengan kata lain, Negara harus ditopang dengan system demokrasi.
Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Demokrai merupakan cara paling
aman untuk mempertahankan control atas Negara hukum.
Dalam
kajin historis, perkembangan tipe Negara hukum mebawa konsekuensi terhadap
peranan hukum administrasi Negara. Semakin sedikit campur tangan Negara dalam
kehidupan mayarakat akan semakin kecil pula peranan hukum administrasi Negara
didalamnya. Sebaliknya dengan semakin intensifnya campur tangan Negara akan
semakin besar pula peranan hukum administrasi Negara.
2.
Teori
Negara Hukum
Teori
Negara Hukum diawali dengan pemikiran yang terdapat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan
Negara dimaksud hanya dapat tercapai jika pemerintah Negara Republik Indonesia
dapat melaksanakan tugasnya yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia dan yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, agar supaya
terwujud suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi
Negara Indonesia yanag system hukumnya berasal dari keluarga hokum “civil law”
istilah “Negara hokum” yang dipergunakan merupakan terjemahan langsung dari
“rechtsstaat”, namun demikian istilah “the rule of law” popular juga digunakan
untuk pengertian Negara hukum, mungkin akibat pengaruh Sistem hukum “common
law”.
Beberapa pendapat para
pakar di Indonesia menggunakan istilah Negara hukum sama dengan “the rule pf
law”, di antaranya Sunaryati Hartono menggunakan istilah tersebut. Oleh sebab
itu, agar terciptanya suatu Negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh
rakyat yang bersangkutan, penegakan “the rule of law” itu harus dalam arti
materiil.
Selain
penggunaan istilah Negara hukum “the rule of law” di atas, Muhammad Yamin
menggunakan istilah lain mengenai Negara hukum, yaitu menggunakan istilah
“rechtsstaat atau government of law”. Istilah “government of law” digunakan di
Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dipakai istilah “the rule of law”. Konsep
ini diperkenalkan oleh A.V. Dicey pada tahun 1885 dengan karya berjudul
“Introduction to Study of the Law of the Constitution”.
Istilah
Negara hukum juga dikenal di Negara Islam dengan istilah “nomokrasi”, yaitu
suatu Negara hukum yang memiliki prinsip kekuasaan sebagai amanah, musyawarah,
keadilan, persamaan, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, perdamaian, perdamaian, peradilan bebas, kesejahteraan, dan ketaatan
rakyat.
Berdasarkan
uraian diatas mengandung maksut bahwa suatu Negara hukum menghendaki segala
tindakan atau perbuatan penguasa harus memiliki dasar hukum yang jelas atau ada
legilitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tiak tertulis.
Keabsahan Negara untuk memerintah, karena Negara merupakan Negara yang netral,
tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada
kepentingan umum.
Sri
Soemantri mengatakan bahwa di dalam suatu Negara hukum, maka di dalamnya
mengandung unsure-unsur terpenting antara lain sebagai berikut:
a.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan;
b.
Adanya jaminan terhadap hak asasi
manusia (warga Negara);
c.
Adanya pembagian kekuasaan
(“distribution of power”) dalam Negara;
d.
Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan (“rechterlijke controle”)
Di Eropa
Kontinental timbulnya pemikiran tentang Negara hukum adalah sebagai akibat dari
adanya system pemerintahan yang absolutisme. Pada masa itu kekuasaan absolute
berlaku di seluruh Eropa, misalnya masa Louis XIV di Prancis terkenal dengan
ungkapan “L’etat c’est moi” (Negara adalah aku). Kekuasaan absolute tidak hanya
berlaku di Prancis, tetapi juga berlaku di negeri Belanda dibawah Raja Philip
II. Cirri Negara hukum pada masa itu dilukiskan sebagai “Negara penjaga malam”
(“nachtwakersstaat”), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban
umum dan keamanan (“de openbare orde en veiligheid”).
3.
Prinsip
Negara Hukum
Para Sarjana Eropa Kontinental yang diwakili oleh Julius
Stahl menuliskan prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
a. Perlindungan
hak asasi manusia;
b. Pembagian
kekuasaan;
c. Pemerintahan
berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan
Tata Usaha Negara.
Muhammad
Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan
pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung
9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.
Prinsip musyawarah;
3.
Prinsip keadilan;
4.
Prinsip persamaan;
5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia;
6.
Prinsip peradilan yang bebas;
7.
Prinsip perdamaian;
8.
Prinsip kesejahteraan;
9.
Prinsip ketaatan rakyat.
Jimly
Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan
menggabungkan pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana
Eropa Kontinental. Menurutnya dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya,
harus memuat dua belas prinsip. Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman
sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara
sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping
itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut
patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha
Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern.
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada
hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi,
sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar
masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik
yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu
sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan
antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum
(Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang
dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan
kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat
tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’
yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok
masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang
kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat
diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah
kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas Legalitas (Due
Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan
atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif
demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban.
Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’
yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan
sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan,
setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan
selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa
organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak
tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ
Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup
bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ
seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi,
terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi
dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga
tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi
eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi
Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat
independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh
kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di
hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen
semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih
dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut
sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang
independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan
regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di
Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.
6. Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus
ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak
boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik)
maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun
legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada
kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses
pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam
menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai
keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak
sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga
‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha
Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip
peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara
Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat
keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata
usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang
menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para
pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi,
maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga
Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu
benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan.
Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus
pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and
impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara
(Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau
Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan
negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga
berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika
pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan
karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’
abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20,
adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan
kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya
sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah
Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu
negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme
untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun
konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan
tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy).
9. Perlindungan
Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang
adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara
luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.
Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna
kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat
penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu
Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan
penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara
yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang
sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis
(Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat
dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak
dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali.
Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute
rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara
hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang
bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap
Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan
negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan
negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan
mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan
negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang
tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol
Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan
yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini
penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’,
karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Berke-Tuhanan Yang Maha
Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham
sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan
sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan. Karena itu,
dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan.
Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus dibuat dan
ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi
manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas
dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para
subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan
dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
D.
Pembahasan
Menurut
pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”. Dengan adanya UU yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia,
pemerintah berperan dalam perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Disisi
lain, Indonesia memiliki lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap
persoalan-persoalan hak asasi manusia yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
atau biasa disebut dengan Komnas HAM[[2]]
Komnas
HAM sendiri memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi pelaksaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila,
UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2. Meningkatkan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan
Dengan
demikian, Komnas HAM berperan dalam mengawasi agar kebijakan yang dijanjikan
oleh pemerintah tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Namun
pada kenyataannya menurut Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk orang Hilang
dan Korban Kekerasan (Kontras), menyatakan bahwa di tahun 2013 kasus
pelanggaran terhadap HAM oleh aparat kepolisian yang semakin meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Aparat Kepolisian seharusnya dapat
menjadi pelindung bagi rakyat sebuah negara bukan sebaliknya. Lalu jika kita
melihat kebelakang, masih banyak lagi contoh kasus pelanggaran HAM, seperti
kerusuhan mei 1998, tragedi sampang dan lain-lain.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum yang
kehilangan satu penyangga dikarenakan perlindungan terhadap HAM tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
No comments:
Post a Comment