Pertama,
apa yang dimaksud dengan hukum positif? Ius Constitutum (Hukum Positif) adalah
Peraturan hukum yang berlaku pada saat ini/ sekarang untuk masyarakat dari
dalam suatu daerah tertentu. Ius Constitutum
merupakan hukum yang berlaku untuk suatu masyarakat dalam suatu tempat
pada suatu waktu tertentu. Contohnya adalah Perda (Peraturan Daerah).
Objek yang
diatur di dalam hukum positif/Ius Constitutum adalah sekaligus subjek/pelaku.
Ini berakibat penting untuk metode keilmuannya serta kualitas hukum/ penjelasan
mengenai sebab akibat hukum. Yang menjadi objek ilmu hukum positif berbeda
dengan hukum ilmu pasti/ ilmu alam. Hukum positif sebagai sebuah perangkat
kaidah untuk manusia masyarakat, ia diatur oleh metode keilmuan Humanities/
Humaniora, bukan diatur oleh metode keilmuan ilmu pasti-alam.
Hukum postif
hukum yang mengatur perilaku manusia yang merupakan bukan benda mati tetapi
makhluk hidup yang memiliki pikiran serta kemampuan membedakan hal yang baik
dan hal yang buruk (Etika).
Hukum positif/Ius
Constitutum jika di kaitkan dengan etika maka juga berhubungan dengan moral.
Maksudnya bahwa hukum positif juga memiliki hubungan yang erat dengan moral dan
norma yang ada dalam masyarakat
Dalam
hukum adat Bugis, Makassar, terdapat yang namanya Proses Abbajik (Berbaikan),
yang Apabila terjadi perkawinan lari (Silariang, Nilariang, Erangkale), maka
oleh pihak keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut
tu-masiri’, dan kalau mereka berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka
kemungkinan laki-laki (tu-mannyala) itu akan dibunuh. Tindakan membunuh
tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan harga diri dan
kehormatan keluarga.
Karena
perbuatan tu-mannyala (makassar : orang yang bersalah) biasanya jika diketahui
dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama dari keluarga sigadis.
Sebab tu-mannyala harus dibunuh kecuali bila tu-mannyala tadi telah berada
dalam rumah atau pekarangan anggota dewan hadat / pemuka masyarakat atau
setidak-tidaknya telah sempat melemparkan penutup kepalanya (songkok atau
destar) ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia sudah
berada dalam perlindungan, maka tak dapat diganggu lagi. Begitu juga kalau ia
sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya. Bila tu-mannyala tadi
telah berada di rumah satu pemuka masyarakat (dalam hal ini imam atau kadhi)
maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-mannyala.
Langkah
pertama, orang tua sigadis (tu-masirik) dihubungi dan dimintai persetujuannya
agar anaknya dapat dinikahkan. Biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban
apalagi bertindak sebagai wali, karena merasa hubungannya dengan anaknya
mimateami (telah dianggap mati). Sebab itu, tak ada jalan lain bagi imam atau
kadhi kecuali menikahkan tu-mannyala dengan ia sendiri bertindak sebagai wali
hakim. Setelah itu, baru dipikirkan yang harus dilakukan tu-mannyala agar
diterima kembali sebagai keluarga yang sah dalam pandangan adat. Hubungan
antara tu-masiri’ dengan tu-annyala sebagai tu-appakasirik akan diterima selama
tu-mannyala belum abbajik (damai). Bila tu-mannyala mampu dan berkesempatan
appakabajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada penghulu adat/pemuka
masyarakat tempatnya meminta perlindungan dahulu. Lalu diutuslah seseorang
untuk menyampaikan maksud appala bajik (meminta damai) kepada keluarga
tu-masirik atau kepada penghulu kampung tempat keluarga tu-masirik yang selanjutnya
menghubungi keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumate
tallasa’na (orang mati yang masih hidup).
Keluarga
tu-masirik lalu menyampaikan kepada sanak keluarganya tentang maksud kedatangan
tu-mannyala appala bajik. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali
tu-mannyala tersebut, maka disampaikanlah kepada yang mengurus selanjutnya pada
pihak tu-mannyala. Kemudian si tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan
persiapan yang diperlukan dalam upacara appala bajik tersebut. Keluarga tu-mannyala
menyediakan sunrang (mahar) sesuai aturan sunrang dalam perkawinan adat, selain
menyediakan pula pappasala (denda karena berbuat salah). Pappasala dengan
sunrang dimasukkan dalam ‘kampu’ disertai ‘leko’ sikampu’ (sirih pinang dalam
kampu). Keluarga tu-mannyala juga yang wajib menyiapkan dalam pertemuan itu
antara lain hidangan adat.
Pada
waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala (orang yang telah berbuat salah/aib)
datang dengan keluarga yang mengiringinya ke rumah salah seorang tu-masirik
(orang yang menderita malu atau yang dipermalukan). Sementara itu keluarga
tu-masirik telah pula hadir. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak
to-mannyala/tu-mappakasirik yang diterima oleh tu-masirik maka berakhirlah
dendam dan ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi meminta maaf kepada keluarga
tu-masirik yang hadir dan pada saat itu dirinya resmi diterima sebagai keluarga
yang sah menurut adat.
Dalam
hal diatas, dikatakan bahwa apabila terjadi perkawinan lari, maka oleh pihak
keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut, dan kalau mereka
berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki itu akan
dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau
menegakkan harga diri dan kehormatan keluarga. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan hukum positif yang terdapat di Indonesia. Tertulis jelas dalam KUHP,
tentang kejahatan terhadap nyawa yang diatur mulai dari pasal 338 sampai dengan
367. Hal diatas dapat melanggar pasal 338 yang berbunyi:
“Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Bahkan, dapat dikaitkan juga dengan pembunuhan berencana,
karena pembunuhan yang dilakukan sudah dilakukan dengan rencana terlebih
dahulu, bunyi dari pasal 340 KUHP yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
No comments:
Post a Comment