A.
PELAKU PELANGGARAN KODE ETIK
Pelaku
pelanggaran kode etik dalam kasus ini adalah mantan hakim Setyabudi
Tedjocahyono.
B.
IDENTITAS PELAKU
Nama : SETYABUDI TEJOCAHYON, S.H.,M.Hum
Tgl
Lahir : Kediri, 14 Januari 1957
Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung
Golongan : IV/C
Karier :
-
Hakim PN Semarang 2006-2010
-
WAKA PN Tanjung Pinang mulai 12
Januari 2010
-
KPN Tanjung Pinang mulai 13 Juli 2010
-
WAKA PN Bandung sejak 12 Maret 2012
-
Hakim Tinggi PT Padang hasil TPM 19
Februari 2013
C.
KRONOLOGI PELANGGARAN KODE ETIK
Penangkapan wakil ketua pengadilan negeri bandung
Setyabudi Tejocahyono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 22 Maret
2013. Penangkapan itu bermula dari informasi Mahkamah Agung dan masyarakat. MA
curiga Setyabudi bermain dalam kasus sebelumnya. Lembaga tersebut mulai
mengamatinya saat menangani kasus dana bansos yang membelit para tujuh pegawai
pemkot tersebut. Kemudian MA menginformasikannya pada KPK, KPK pun melakukan
pengembangan.
Adapun kronologis penyuapan dan rekayasa hukuman
kasus suap Bansos Pemkot Bandung tahun anggaran 2009 2010 sebagai berikut:
1.
Sekitar Mei 2012 terdakwa bertemu Toto
Hutagalung di PN Bandung dan meminta dana Rp 3 miliar untuk meringankan hukuman
7 terdakwa kasus Bansos dan tidak akan melibatkan Dada Rosada, Edi Siswadi dan
Herry Nurhayat dan disuruh melunasi kerugian Negara. Setelah diberitahukan
kepada Dada, Edi siswadi kemudian memberikan USD 100 ribu kepada Toto.
2.
4 Mei 2012 terdakwa bersama Ramlan
Comel mendatangi rumah toto dan menerima uang USD 80 ribu dolar dalam tiga
amplop untuk dibagikan kepada kepala PN Bandung Singgih Budi Prakoso, Wakil
Panitera PN Bandung Rina Pratiwi dan satu amplop lagi untuk ketiga majelis
hakim (Setyabudi, Ramlan Comel dan Djojo Djauhari
3.
16 Mei 2012 terdakwa bersama Ramlan
Comel, Djojo Djauhari mengeluarkan penetapan tahanan kota untuk lima terdakwa,
yakni Yanos, Luthfan, Firman, Uu, dan Rochman.
4.
23 Juli, JPU melimpahkan dua kasus
terdakwa bansos lainnya atas nama Hafidz Kurnia dan Ahmad Mulyana. Kemudian
Singgih Budi Prakoso menetapkan terdakwa dengan dua hakim anggota yang sama
sebagai majelisnya.
5.
3 Agustus 2012 terdakwa dan dua hakim
anggota mengabulkan permohonan penahanan kota untuk Hafidz dan Ahmad. Setelah semua
tahanan kota terkabulkan kemudian meminta dana Rp 500 juta dan dibagi-bagi
kepada Singgih Budi Prakoso, terdakwa, Ramlan Comel dan Djojo Djauhari.
6.
Terdakwa dengan tujuan untuk
meringankan hukuman dan tidak melibatkan Dada, Edi dan Herry kembali meminta
uang dari Juli 2012 hingga Januari 2013 dengan rincian sebagai berikut : Uang
USD 40 ribu diterima di depan kantor Jefri Sinaga, uang Rp 500 juta diterima di
grand Serela, uang Rp 300 juta diterima di villa Ujungberung, uang USD 40 ribu
diterima di Kantor PN Bandung, uang Rp 200 juta diterima di Caffe Shop, uang Rp
300 juta sebanyak dua kali diterima di Rumdin terdakwa, uang Rp 200 juta
diterima di Cafe Bali dan uang Rp 10juta diterima terdakwa untuk tiket ke Bali.
7.
Selain uang terdakwa juga menerima perabotan untuk rumah dinas seperti televisi, kursi dan kulkas. Serta meminta fasilitas hiburan di Venetian Spa, Launge and Karaoke di Pasirkaliki.
Selain uang terdakwa juga menerima perabotan untuk rumah dinas seperti televisi, kursi dan kulkas. Serta meminta fasilitas hiburan di Venetian Spa, Launge and Karaoke di Pasirkaliki.
D. ANALISIS
KASUS
Dalam kasus ini terjadi sebuah pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh Setyabudi Tejocahyono, ia adalah seorang wakil ketua
hakim pengadilan negeri bandung. Kode etik yang telah ia langgar adalah tindak
pidana korupsi yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang hakim. Hakim ketua
Nur hakim menjatuhkan pidana kepada Setyabudi Tejocahyono diatur dalam pasal 6
ayat (1) huruf A, Pasal 12 huruf C dan Pasal 12 huruf A UU no. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbarui dalam UU No. 20 tahun 2001
memvonis 12 Tahun penjara dalam kasus dugaan suap dana Bantuan Sosial (Bansos)
Kota Bandung, dan juga didenda Rp 200 Juta dan Subsider 3 bulan.
Kemudian setyabudi tejocahyono dinilai tidak peka
terhadap tindakan korupsi yang dilakukannya, padahal terdakwa adalah seorang
penegak hokum namun tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Semua
itu dianggap bertentangan dengan kode etik dan perilaku hakim.
Tidak hanya menerima uang, terdakwa juga menerima
dan meminta beberapa fasilitas seperti perabotan untuk di rumah dinas, serta
fasilitas hiburan di Venetian Spa launge and karaoke di Paskal Hypersquare
Bandung.
E.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Setyabudi
Tejocahyono merupakan wakil hakim Pengadilan Negeri Bandung yang melanggar kode
etik seorang hakim, dengan ia menerima suap atas kasus Bansos Kota Bandung
akhirnya ia di pecat dan dihukum penjara selama 12 tahun dan membayar denda 200
Juta.
2.
Saran
Semua
profesi khususnya hakim memiliki etika dan peraturannya masing-masing, jangan
mudah tergiur oleh harta yang bisa merubah hakikat manusia. Tanamkan kebaikan dalam
diri karna itu adalah dapat melawan kejahatan.
F.
KASUS POSISI
TRIBUNNEWS.COM,
BANDUNG -
Mantan wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung yang juga sempat menjadi hakim
Tipikor, Setyabudi Tejocahyono, kini menjadi terdakwa kasus korupsi. Bahkan
sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut, Setyabudi terancam hukuman penjara
maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup jika terbukti menerima suap dalam
penanganan sidang Tipikor Penyimpangan Dana Bansos Kota Bandung TA 2009-2010.
Hal itu dikatakan
jaksa penuntut umum dari KPK, Ali Fikri SH MKn, kepada wartawan seusai
persidangan perdananya yang mengagendakan pembacaan dakwaan di luar ruang
sidang Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (15/8/2013). "Hukumannya
bisa seumur hidup atau penjara 20 tahun karena pasal yang didakwakan
berlapis," kata Ali.
Ali menuturkan,
Setyabudi didakwa dengan pasal berlapis, yakni tiga dakwaan primer ditambah
dengan beberapa dakwaan subsider. Terdakwa bersama dengan hakim anggotanya H
Ramlan Comel dan Djodjo Djohari pada bulan April 2012 hingga Januari 2013
menerima uang suap Rp 1.810.000.000 dari Wali Kota Bandung Dada Rosada, Sekda Kota Bandung dan Edi
Siswadi dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota
Bandung H Herry Nurhayat. Selain itu, terdakwa menerima 160 ribu dolar AS, dan
barang perabotan rumah serta fasilitas hiburan di Venetian Spa Launge &
Karaoke di Pasirkaliki. "Uang tersebut diserahkan ke terdakwa melalui Toto
Hutagalung dan Asep Triana," ujar Ali.
Pemberian uang suap
untuk terdakwa yang diberikan oleh Dada Rosada, Edi Siswadi, dan Herry
Nurhayat melalui Toto Hutagalung ditujukan agar terdakwa menjadikan putusan
kasus tipikor penyimpangan bansos Kota Bandung TA 2009-2010 tidak mengaitkan
dengan nama Dada
Rosada, Edi
Siswadi, dan Herry Nurhayat serta memberikan hukuman yang ringan kepada
terdakwa Rochman, Firman Himawan, Luthfan Barkah, Yanos Septiadi, Uus Ruslan, Havid
Kurnia, dan Ahmad Mulyana. Pada putusannya ketika itu, terdakwa memutuskan
hukuman masing-masing 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta atau diganti hukuman
penjara 1 bulan, lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Sesuai dengan fakta
pembacaan dakwaan terungkap bahwa awalnya terdakwa minta Rp 3 miliar kepada
Toto Hutagalung setelah Toto beberapa kali bertemu dan mengenalkan diri sebagai
orang kepercayaan Dada yang ingin meminta kemudahan proses hukuman para
terdakwa kasus penyimpangan bansos. Terdakwa juga menyampaikan putusan di PN
Bandung akan diatur oleh Ketua PN Bandung Singgih Budi Prakoso, dan putusan di
PT Bandung akan diatur oleh Ketua PT Bandung Sareh Wiyono. Ia juga minta Pemkot
Bandung membayar kerugian negara sesuai hasil penghitungan BPKP, sebesar Rp
9.440.225.000.
Toto menyampaikan
permintaan itu kepada Dada Rosada dan Edi Siswadi. Lalu Dada
minta Edi dan Herry untuk memenuhi permintaan itu melalui Toto. Dada juga minta
Edi dan Herry untuk mengumpulkan para SKPD agar memberikan sejumlah uang guna
pelunasan kerugian keuangan negara.
Uang itu diberikan
kepada terdakwa secara bertahap. Pertama Edi memberikan 100 ribu dolar AS
melalui Toto. Toto menyerahkan 80 ribu dolar kepada terdakwa di rumah Toto.
Uang itu diberikan dalam tiga amplop masing-masing untuk Singgih Budi Prakoso
sebagai Ketua PN Bandung, Rina Pratiwi selaku Wakil Panitera PN Bandung, dan
satu amplop untuk majelis hakim yakni terdakwa, Ramlan Comel dan Djojo Djohari.
Untuk sisa uang pelunasannya, terdakwa mengeluarkan penetapan penitipan uang
yang akan dikembalikan ke rekening Rumah Penitipan Barang Rampasan dan Sitaan
(Rupbasan).
Selain itu, kata
Ali, saat proses persidangannya, terdakwa yang menjadi ketua majelis hakim
tipikor juga menerima hadiah dari Dada, Rp 500 juta untuk perubahan status
tahanan ketujuh terdakwa dari tahanan penjara di rumah tahanan menjadi tahanan
kota. Bahkan terdakwa juga melalui Toto Hutagalung dan Asep Triana menerima 40
ribu dolar AS di depan kantor Jefri Sinaga, Rp 500 juta di Hotel Grand Serella,
Rp 300 juta di Villa Ujungberung, 40 ribu dolar AS di kantor PN Bandung, Rp 200
juta di Coffee Shop, Rp 300 juta di rumdin wakil ketua PN, Rp 300 juta, Rp 200
juta di kafe Bali, dan Rp 10 juta untuk pembelian tiket pesawat.
Setyabudi langsung
menyela jalannya persidangan kepada majelis hakim sebelum dakwaan dibacakan
jaksa penuntut umum. Setyabudi meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan
yang akan dibacakan jaksa tidak seluruhnya atau tidak detail. Permintaan itu
diajukan Setyabudi, dengan alasan ia dan penasihat hukumnya sudah menerima
surat dakwaannya. Namun majelis hakim yang diketuai Nur Hakim SH meminta
Setyabudi mengulang apa yang dikatakannya karena kurang jelas.
Atas permintaan itu,
Nur Hakim mengatakan bahwa dibacakan seluruhnya atau sebagian dakwaan, itu
adalah hak JPU. Namun sesuai dengan prinsip persidangan itu terbuka sehingga
perlu adanya keterbukaan kepada publik.
No comments:
Post a Comment